Mubyarto pernah menyinggung konsep menarik: dalam ekonomi yang embedded, yang bekerja bukan sekadar invisible hand pasar bebas Adam Smith, tapi "invisible handshake" yaitu kerjasama berbasis kepercayaan dan gotong royong.
Ini sangat sesuai dengan karakter Indonesia.
Program gotong royong berbasis teknologi hijau bisa jadi mekanisme redistribusi pendapatan yang efektif. Mirip dengan program insentif harga gabah yang memberikan kepastian bagi petani, kebijakan ekonomi hijau yang embedded harus memberikan insentif nyata untuk efisiensi sosial, bukan sekadar kalkulasi untung-rugi korporasi semata.
Dan ini sejalan dengan nilai Pancasila, khususnya asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang sering kita lupakan dalam mengejar pertumbuhan ekonomi.
Peluang Besar, Tantangan Nyata
Jangan salah, prospek ekonomi hijau Indonesia sangat menjanjikan.
Proyeksi dari berbagai lembaga internasional menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi menyerap jutaan tenaga kerja baru dalam sektor hijau dalam beberapa tahun ke depan. ASEAN+3 sendiri memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sekitar 4 persen ke atas pada 2025, dan Indonesia punya peluang jadi pemimpin kawasan.
Potensi energi terbarukan kita mencapai ribuan gigawatt. Dari PLTS Terapung Cirata sampai pengembangan green hydrogen, Indonesia punya modal alam yang luar biasa.
Namun, semua potensi itu akan lebih optimal jika disertai kebijakan inklusif. Keadilan akses pada pelatihan, peluang kerja hijau untuk berbagai latar belakang, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Hal-hal ini yang akan menentukan sukses atau tidaknya transisi hijau kita.
Apa yang Harus Diprioritaskan?
Agar investasi hijau ISF 2025 benar-benar membawa perubahan positif, beberapa hal ini perlu diprioritaskan: