Mohon tunggu...
Allena Ahza Keisha
Allena Ahza Keisha Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UGM

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Investasi Hijau Rp278 T: Untuk Siapa Sebenarnya?

12 Oktober 2025   21:50 Diperbarui: 12 Oktober 2025   21:50 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Petani Makan(Sumber: Unsplash/@rdcl) 

Ambil contoh kasus relokasi masyarakat untuk proyek pembangunan bendungan di beberapa daerah. Meski bertujuan baik untuk ketersediaan air dan energi, tidak sedikit komunitas lokal yang merasa proses konsultasi kurang memadai dan kompensasi tidak sebanding dengan kehilangan mata pencaharian mereka.

Atau kita bisa melihat beberapa proyek pertambangan yang meninggalkan konflik sosial berkepanjangan karena minimnya pelibatan masyarakat adat dalam tahap perencanaan. Bukan soal menentang pembangunan, tapi tentang bagaimana memastikan proses yang adil dan inklusif.

Bahkan dalam sektor energi terbarukan yang katanya "hijau" ini, ada risiko serupa jika tidak dikelola dengan baik. Bayangkan proyek PLTS terapung raksasa dibangun tanpa melibatkan nelayan lokal dalam perencanaannya. Atau program agroforestri yang menjadikan petani sekadar buruh upahan, bukan mitra yang punya suara dalam pengambilan keputusan.

Ini yang dimaksud Mubyarto: efisiensi alokasi tanpa memperhatikan keadilan sosial justru bisa menciptakan ketimpangan baru.

Seperti Apa Investasi Hijau yang "Tertanam"?

Saya punya gambaran konkret tentang investasi hijau yang benar-benar embedded:

Di sektor pertanian: Bayangkan program agroforestri yang tidak hanya mengundang petani sebagai buruh, tapi menjadikan mereka mitra. Petani dilibatkan sejak perencanaan, mendapat pelatihan berkelanjutan, dan memiliki kepemilikan atas sebagian hasil. Mereka bukan objek pembangunan, tapi subjek yang aktif.

Di wilayah pesisir: Proyek blue carbon atau konservasi mangrove yang memberikan benefit sharing transparan kepada komunitas nelayan tradisional. Bukan cuma kompensasi sepihak, tapi mekanisme ekonomi sirkular di mana nelayan juga bisa menjadi guardian ekosistem sekaligus mendapat penghasilan dari skema perdagangan karbon.

Di desa-desa: Ekonomi hijau yang benar-benar embedded akan menciptakan nilai tambah lokal. Desa tidak lagi hanya jual hasil panen mentah, tapi terlibat dalam seluruh rantai nilai: produksi organik, pengolahan dengan energi terbarukan, hingga pemasaran dengan sertifikasi berkelanjutan.

Ini bukan utopia. Model-model seperti ini sudah mulai berkembang di berbagai wilayah, meski masih skala kecil dan perlu diperluas.

Invisible Handshake vs Invisible Hand

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun