Mohon tunggu...
Royan El-Rizky
Royan El-Rizky Mohon Tunggu... -

Yang sederhana itu lebih asyik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Goodbye Pak Rey

16 Agustus 2013   13:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:14 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia tak bersuara dari tempatnya berdiri di depan sana. Wajahnya sedikit ditundukkan ke bawah, menatap meja, kedua tangannya menekan permukaan meja di depannya. Aku berpikir ia sedang mengumpulkan kekuatan untuk melancarkan serangan balik kepadaku. Atau mungkin dia akan mengibarkan bendera putih dan mengakui kekalahannya.

Wajahnya bangkit dan melemparkan pandangan ke seisi kelas, kemudian menatapku, tidak dengan tajam ataupun kebencian. Diluar sangkaanku, dia malah menampakkan sesuatu yang lain, ekspresi kekecewaan terlukis di balik wajahnya yang masih cukup muda. Dia menghela nafas dalam-dalam. Ah, aku benci gaya seperti itu. Karena itu adalah alasan pembelaan atas hukuman yang dia jatuhkan, bahwa dia menghukum bukan karena benci tapi karena menegakkan disiplin kelas, bahwa dia menyesal harus memberi hukuman kepada kami. Inilah akhir kisah perang mulut melawan guru, siswalah yang bersalah dan berhak dihukum, sungguh kejam. Aku pun berbasah-basahan keringat lari keliling lapangan sekolah sepuluh putaran, bersama lima siswa pembuat keributan lainnya pada jam pelajaran matematika kali ini.

Matematika adalah pelajaran yang menjemukan dan melelahkan, terutama kurasakan saat di kelas VIII ini. Terbayang di kelas IX nanti akan bertemu Pak Rey kembali di pelajaran matematika membuatku mual. Soal latihan di setiap pertemuan, selalu ada PR, dan hukuman keliling lapangan bagi yang tidak mengerjakannya. Kadang juga tidak sabaran jika kami lambat memahami pelajaran, marah-marah.

Aku pulang sekolah naik motor dengan hati yang kesal. Di jalan aku melihat Pak Rey berjalan sambil menuntun motornya, bannya bocor. Aku tersenyum puas. Ketika mau melewatinya tiba-tiba dia memanggilku, “Divo, tunggu sebentar, saya mau bicara.” Glek… Aku merasa gugup, jangan-jangan dia tahu. Apakah aku akan diceramahi dan dihukum lagi.

“Divo, saya menyesal atas kejadian di kelas hari ini,” ungkapnya di depanku. “Saya minta maaf jika itu membuatmu kesal. Perkataanmu ada benarnya, saya terlalu memaksa kalian dalam belajar, dan melupakan suasana yang seharusnya menyenangkan saat kalian mengikuti pelajaran.”

Nah lo, apa maksudnya ini. Apakah ini tanda pengakuan bahwa dia menyerah, atau sekedar mendinginkan aku yang sudah terbakar api kebencian. Aku hanya terdiam, tak tahu apa yang mesti ku ucapkan.


“Ayo, silakan pulang,” sambungnya menanggapi sikapku yang kaku, “Hati-hati di jalan, ya.” Aku mengangguk, kuhidupkan motorku dan pulang ke rumah dengan membawa sedikit tanda tanya. Bisa-bisanya dia yang di kelas tadi marah-marah, ketika di jalan bersikap ramah.
* * * * * * * * * *

Malamnya hujan turun rintik-rintik. Enaknya dingin-dingin begini dibawa tidur, tapi berhubung mata belum mengantuk, ku ambil hape untuk online. Aku keluarkan uneg-uneg di kepalaku mengenai kejadian siang tadi di sekolah.

“D’marahi, dlempar batu kapur, dhukum, siang tadi sial bgt. Jdi malas masuk kelas,” statusku di dinding FB.
“Kesian…mkanya klo belajar yg serius donk, hehe…” komentar Andini, teman sekelasku beberapa menit kemudian.
“Trlalu serius bikin strees, fren, lagian buat apa serius, nilaiku sdh bagus,” balasku mengemukakan alasan.
“iya…aku tau km pintar, tpi bisa kan sabaran dikit, klo dbelakang ribut, ksian temen yg lain jdi ga konsen belajarnya.”
“Serius nih, ga konsen?” balasku menyelidik.
“Bangeet…” komentar balasan dari Andini.

Aku memikirkan komentar Andini, sepertinya dia tidak bercanda, dia teman yang jujur dan terbuka. Walaupun di kelas rangkingnya di bawahku, satu hal yang aku kalah darinya, dia lebih bijak daripada aku dalam menilai sebuah masalah, makanya aku senang berteman dengannya. Aku inbox dia, ingin curhat.

“Malem An, aku pengen curhat nih, pengen tanya pendapatmu.”
“iya Div, tanya apa, serius amat. Hati2 lo, terlalu serius tar bikin strees…”
“iya nih An, ga enak ku curhat d status, makanya inbox km.”
“Oke fren, mang ada masalah apa?”
“gak, aku cuma mau tanya, tentang siang tadi d kelas, sikapku kebangetan ya?”
“Oh itu… ya iya lah Div, Pak Rey marah2 kmu malah senyum2, untung aja ga kena kepala tuh batu kapur.”
“tapi, aku bosan An, pelajarannya garing bgt…”
“gak gitu jga Div, mungkin…. itu krna km mrasa udah paham sma materinya, tapi sbgian yg lain msih kurang paham, mreka itu yg lebih dperhatiin sma Pak Rey. Nah, yg pintar jdi mrasa kurang dperhatiin, mrasa dcuekin trus bikin gaduh, ksian kan yg lain terkorbankan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun