Di satu sisi, ini baik karena melatih keberanian berpendapat dan berekspresi. Namun di sisi lain, rasa segan yang dulu menjadi pagar etika perlahan menghilang. Guru tidak lagi dipandang sebagai "otoritas moral", melainkan sebatas fasilitator belajar. Akibatnya, posisi guru dalam mendidik dan menekankan kedisiplinan turut melemah.
      Faktor Teknologi
      Tak bisa dipungkiri, jika perkembangan teknologi membuat akses informasi menjadi begitu mudah. Murid kini bisa menemukan jawaban soal, materi pelajaran, bahkan pengetahuan lainnya lebih cepat dari gurunya hanya dengan mengetik di kolom pencarian atau menonton video pembelajaran.
      Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan adalah penggunaan AI dalam pembelajaran, sehingga belajar (lebih untuk memperoleh jawaban secara instan) lebih mudah. Hal ini secara tidak langsung menggeser peran guru dari "sumber utama ilmu" menjadi "sekadar pendamping belajar".
      Tidak jarang, murid merasa lebih pintar karena menemukan referensi berbeda dari yang diajarkan di kelas. Dari influencer pendidikan, sebuah film, atau bahkan konten Tiktok. Lalu, mereka dengan percaya diri membantah guru.
Situasi ini sering menciptakan kesenjangan baru. Di mana guru dipandang ketinggalan jaman, sementara murid merasa lebih update. Ketika relasi itu tidak diimbangi dengan etika, maka yang muncul adalah hilangnya rasa segan terhadap guru.
      Faktor Ekonomi
      Selain faktor sosial, budaya dan juga teknologi, persoalan ekonomi juga ikut memengaruhi bagaimana seorang guru dipandang. Sebagai gambaran, aku tinggal di sebuah kampung yang mayoritas masyarakatnya berkerja sebagai petani dan kuli angkut kayu. Seorang kuli angkut kayu dapat memperoleh penghasilan seratus sampai dua ratus lima puluh ribu rupiah per harinya.
Sedangkan seorang guru, apalagi yang masih honorer, seringkali hanya menghasilkan seperempat dari penghasilan tukang kuli angkut kayu. Jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kerja fisik yang melelahkan sehari-hari. Bahkan, tidak sedikit kita melihat berita tentang seorang guru yang harus mencari kerja sampingan di luar jam sekolah.
      Ironisnya, karena guru dianggap sebagai profesi yang "tidak berduit", mereka seringkali direndahkan atau tidak dihormati sepenuhnya di masyarakat. Bukankah kita juga mendengar pendapat seorang menteri yang mengatakan, "Kalau mau cari uang, jangan jadi guru, jadi pedaganglah."
      Pernyataan seperti itu semakin menguatkan stigma bahwa profesi guru tidak menjanjikan secara finansial, padahal nilai dan peran guru dalam membentuk karakter bangsa seharusnya tak ternilai.