Kalau 20 tahun lalu aku membungkuk di depan guru, itu bukan sekedar formalitas, tapi rasa hormat karena sadar, ada ilmu yang sedang diwariskan.
      Saat sekolah dasar kelas 1, aku menjadi murid baru pindahan dari Jakarta, dan terkena shock culture di sekolah yang baru. Sepupuku, yang mana sudah kelas 3 memberitahu, "Kalau ada guru dan kepala sekolah, cepatlah membungkuk! Kalau tidak, kamu harus sapu sapu halaman sekolah!" katanya dengan nada sok mengajarkan.
      Membungkuk untuk guru adalah hal baru, karena selama sekolah di Jakarta tradisi itu tak pernah ada. Jadi, pertama kali melihat seorang guru hendak lewat, dari radius 10 meter, sepupuku sudah membungkuk. Sangat rendah, sampai kantong ranselnya terjorok ke depan. Aku terheran, aku merasa itu aneh, tapi lama-kelamaan terbiasa juga.
      Mungkin anak Gen Z saat ini melihat ritual membungkuk hanya ada di dalam drama korea. Namun, di jamanku dulu, kami benar-benar melakukannya. Selain itu, ritual 'salim' adalah hal yang wajib dilakukan ketika kita bertemu dengan guru di luar lingkungan sekolah. Makanya, biasanya tempat tempat bermain yang paling dihindari adalah tempat yang dekat dengan rumah guru. Bukannya tidak mau meng-salami karena enggan atau malas, tapi lebih karena segan dan juga takut.
      Ketika aku beranjak menjadi siswa SMA, hal membungkuk memang sudah tidak lagi dilakukan, karena katanya itu adalah sisa budaya Jepun atau penjajah Jepang. Namun, untuk sekadar Senyum, Sapa, Salam tidak pernah tertanggal, apalagi saat berpapasan dengan guru di lingkungan sekolah maupun di luar.
      Ada kisah dari seorang teman yang mengajar di sebuah SMA Negeri. Menariknya, ia pernah menanyakan kepada sesama guru di sana, kira-kira seperti ini, "Ketika kamu berpapasan dengan murid, apakah mereka semua melakukan 3S (Senyum, Sapa, Salam)?"
      Jawaban yang ia terima sederhana. "Ada yang melakukannya, ada yang tidak. Kalau kenal dan kebetulan diajar, biasanya mereka menyapa, tapi kalau tidak terajar, ya mereka cuek aja."
      Aku mengernyit mendengarnya, bagaimana bisa seperti itu? Bahkan guru dalam satu sekolah, jika bukan pengajarnya, bisa saja tak lagi dihormati. Mengapa guru sekarang seperti kehilangan kehormatannya, alih alih menjadi sosok yang kubungkukki saat sekolah dulu? Apakah ini hanya soal kebiasaan yang hilang, atau ada hal yang lebih mendasar, seperti berubahnya cara siswa dalam memandang guru?
      Tapi cerita itu belum selesai, temanku menutup ceritanya dengan nada datar, seakan pasrah, "Aku tak peduli jika murid bersikap demikian, tugas kita hanyalah menyampaikan materi di kelas. Setelah kewajiban itu? Biarlah. Memangnya berapa gaji kita?"
      Saat merenungkan ucapannya, aku merasa ada plot hole yang besar dalam dunia pendidikan kita. Salah satunya adalah bergesernya cara pandang masyarakat terhadap guru, sehingga menciptakan generasi guru yang pragmatis dan bekerja sekadar menggugurkan kewajibannya. Apalagi ditambah dengan persoalan penghasilan yang tidak sesuai dengan effort yang mereka curahkan.
      Bagiku, ini bukan masalah tentang memberi rasa hormat, atau guru yang krisis legitimasi. Tapi, bergesernya attitude masyarakat, bukan hanya kepada guru, mungkin pada sesama manusia.
      20 tahun lalu, bagiku guru adalah pusat ilmu. Sosok yang ditakuti, dihormati sekaligus disegani. Selain mengajar di kelas, sering kali aku kena marah karena membiarkan sesobek kertas di lantai, dan tidak membuangnya ke tempat sampah. Mereka juga akan menegur kita jika berpakaian ketat, mencukur rambut anak lelaki yang gondrong, dan menghukum siswa yang tidak berpakaian lengkap saat upacara bendera.
Dalam pandanganku, mereka menerapkan sesuatu yang terkadang tidak bisa kita dapatkan dari orang tua di rumah. Seperti kedisiplinan, kesadaran diri dan juga perilaku baik lainnya.
      Aku sendiri pernah dipukul karena kuku panjang dan memakai kutek. Saat sampai ke rumah, kuceritakan hal itu pada ayahku. Alih-alih mendapat  pembelaan, aku mendapatkan tambahan hukuman.
Seolah ada budaya kolektif waktu itu, bahwa mendidik anak adalah kewajiban bersama, dan guru dianggap sebagai perpanjangan tangan orang tua di sekolah. Orang tuaku tak pernah menyalahkan apa yang guruku lakukan padaku, karena mereka sadar, jika sesuatu seperti itu terjadi maka yang salah adalah perilaku anak mereka sendiri.
      Lalu, bagaimana yang kulihat sekarang? Jauh berbeda. Di era saat ini, apa yang disebut kedisiplinan sering dianggap kekerasan. Alih-alih mendapat dukungan orang tua, sebagai pemegang otoritas pendidikan di sekolah, guru justru sering dilaporkan jika menegur terlalu keras. Lihatlah, berapa banyak berita yang menulis tentang pelaporan orang tua terhadap guru yang dianggap melakukan kekerasan. Ya, meskipun terlepas dari kasus oknum yang benar-benar menyalahgunakan kewenangannya.
      Sekali lagi, sebetulnya ini salah siapa? Mengapa ada begitu banyak kesenjangan budaya pendidikan dulu dan sekarang? Apakah ini hanyalah konsekuensi perkembangan jaman, atau ada yang keliru dalam sistem pendidikan kita dalam memosisikan peran guru di masyarakat?
      Dari pengalaman pribadi itu, aku mulai membandingkan dengan apa yang aku lihat saat ini melalui kisah temanku dan pengamatanku sendiri. Aku menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa ada pergeseran cara pandang murid maupun masyarakat terhadap guru.
      Baik, ayo kita bahas satu persatu.
      Faktor Sosial Budaya
      Globalisasi dan budaya egaliter membawa cara pandang baru dalam hubungan antar manusia. Murid kini lebih berani menyuarakan pendapat dan berekspresi, merasa setara dengan guru, bahkan terkadang melupakan batas antara hormat dan akrab.
      Bukankah sering kita temukan sekarang murid yang berani joget tiktok dengan guru mereka? Atau adegan di reels Youtube, seorang anak yang berani membantah guru di kelas dengan nada menantang, seolah diskusi tak lagi punya batas antara sopan dan lancang? Atau, murid yang dengan santai memanggil guru dengan sebutan "bro" atau "sis", seakan guru adalah teman sebaya, bukan lagi sosok yang perlu dihormati?
Di satu sisi, ini baik karena melatih keberanian berpendapat dan berekspresi. Namun di sisi lain, rasa segan yang dulu menjadi pagar etika perlahan menghilang. Guru tidak lagi dipandang sebagai "otoritas moral", melainkan sebatas fasilitator belajar. Akibatnya, posisi guru dalam mendidik dan menekankan kedisiplinan turut melemah.
      Faktor Teknologi
      Tak bisa dipungkiri, jika perkembangan teknologi membuat akses informasi menjadi begitu mudah. Murid kini bisa menemukan jawaban soal, materi pelajaran, bahkan pengetahuan lainnya lebih cepat dari gurunya hanya dengan mengetik di kolom pencarian atau menonton video pembelajaran.
      Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan adalah penggunaan AI dalam pembelajaran, sehingga belajar (lebih untuk memperoleh jawaban secara instan) lebih mudah. Hal ini secara tidak langsung menggeser peran guru dari "sumber utama ilmu" menjadi "sekadar pendamping belajar".
      Tidak jarang, murid merasa lebih pintar karena menemukan referensi berbeda dari yang diajarkan di kelas. Dari influencer pendidikan, sebuah film, atau bahkan konten Tiktok. Lalu, mereka dengan percaya diri membantah guru.
Situasi ini sering menciptakan kesenjangan baru. Di mana guru dipandang ketinggalan jaman, sementara murid merasa lebih update. Ketika relasi itu tidak diimbangi dengan etika, maka yang muncul adalah hilangnya rasa segan terhadap guru.
      Faktor Ekonomi
      Selain faktor sosial, budaya dan juga teknologi, persoalan ekonomi juga ikut memengaruhi bagaimana seorang guru dipandang. Sebagai gambaran, aku tinggal di sebuah kampung yang mayoritas masyarakatnya berkerja sebagai petani dan kuli angkut kayu. Seorang kuli angkut kayu dapat memperoleh penghasilan seratus sampai dua ratus lima puluh ribu rupiah per harinya.
Sedangkan seorang guru, apalagi yang masih honorer, seringkali hanya menghasilkan seperempat dari penghasilan tukang kuli angkut kayu. Jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kerja fisik yang melelahkan sehari-hari. Bahkan, tidak sedikit kita melihat berita tentang seorang guru yang harus mencari kerja sampingan di luar jam sekolah.
      Ironisnya, karena guru dianggap sebagai profesi yang "tidak berduit", mereka seringkali direndahkan atau tidak dihormati sepenuhnya di masyarakat. Bukankah kita juga mendengar pendapat seorang menteri yang mengatakan, "Kalau mau cari uang, jangan jadi guru, jadi pedaganglah."
      Pernyataan seperti itu semakin menguatkan stigma bahwa profesi guru tidak menjanjikan secara finansial, padahal nilai dan peran guru dalam membentuk karakter bangsa seharusnya tak ternilai.
Akibatnya, pandangan ini perlahan menurunkan wibawa guru di mata siswa maupun orang tua. Seseorang yang dulu dianggap sebagai otoritas moral kini perlahan terkikis. Profesi yang seharusnya mulia menjadi rentan kehilangan penghargaan. Hal itu tentu berdampak pada motivasi serta kualitas pendidikan yang mereka berikan juga.
      Faktor Kebijakan Pendidikan
      Aku ingat dua orang teman SD yang dulu tidak bisa naik kelas dikarenakan belum memenuhi nilai yang seharusnya. Ada yang dua tahun, ada yang sampai tiga tahun. Tapi, bisakah kita temui hal seperti itu di jaman sekarang?
Atau pengalamanku belajar selama menjadi siswa SMA, sebagai percobaan kurikulum yang berubah terlalu cepat. Dalam tiga tahun, kami sudah merasakan 3 sistem kurikulum, KTSP, Kurtilas, dan Revisi.
      Setelah menganalisis berbagai persoalan kebijakan, salah satunya adalah sistem akreditasi sekolah, gengsi dan nama baik sekolah ternyata menjadi pertaruhan yang nyata agar meluluskan siswanya, tanpa diimbangi dengan kualitas peserta didiknya. Atau dengan kata lain, asal lulus demi gengsi dan nama baik sekolah, bukan karena siswa benar-benar siap mengahadapi dunia nyata.
      Selain itu, penilaian siswa yang lebih menekankan pada angka alih-alih karakter. Tekanan administratif juga membuat guru semakin terjebak dalam rutinitas. Mereka menjadi lebih sibuk mengurus laporan, menghadiri rapat, dan menyesuaikan aturan baru ketimbang membuat inovasi pembelajaran dan fokus mendidik dengan sepenuh hati.
      Di sisi lain, sistem ini juga membuat murid melihat guru bukan sebagai teladan moral, tapi hanya sebagai pengelola kelas dan pemberi nilai. Ketika kebijakan pendidikan menekankan formalitas dan prosedur, rasa hormat terhadap guru pun perlahan memudar. Seolah guru adalah pekerja administratif di mata murid dan masyarakat, bukan sosok yang dihormati karena ilmu dan akhlaknya.
      Jika dilihat dari perjalanan pendidikan 20 tahun terakhir, jelas ada pergeseran besar dalam cara murid memandang guru. Dari sosok yang dihormati dan pusat ilmu, kini guru kerap dipandang setara bahkan direndahkan.
Faktor faktor sosisal-budaya, teknologi, ekonomi dan kebijakan pendidikan itu sendiri yang mempengaruhi hal demikian. Budaya egaliter dan globalisasi membuat murid menjadi berani mengutarakan pendapat dan berekspresi, tapi sekaligus mengikis rasa segan yang dulu menjadi pagar etika. Penghasilan guru yang rendah dan tekanan ekonomi membuat guru dipandang kurang berwibawa sehingga mudah tergeser di mata masyarakat. Tekonologi memberi banyak akses pengetahuan pada murid, yang mana seringkali menantang otoritas guru sebagai pengajar. Sementara kebijakan pendidikan yang terlalu terfokus pada hal administratif, akreditasi, dan formalitas memperlemah posisi guru sebagai teladan.
      Namun, semua ini bukan sekedar "kesalahan zaman", atau "salah murid", atau bahkan "salah guru" itu sendiri. Ini adalah panggilan untuk menata ulang cara kita dalam memandang pendidikan, menghargai guru, dan membangun budaya yang seimbang. Tetap menjadi masyarakat yang beretika dengan hormat, disiplin, namun tetap memberi ruang ekspresi yang luas.
Ini adalah tugas semua pihak untuk mengembalikan martabat pendidikan dan menjadikannya penjaga nilai. Guru yang bukan hanya mengajar tapi juga pembentuk karakter. Jika kita mengembalikan penghargaan pada guru, guru juga akan mengembalikan esensi diri mereka yang bukan hanya sekedar pengajar tapi pendidik. Mungkin, wibawa mereka-dan pendidikan itu sendiri-akan kembali pada tempat yang seharusnya. Menjadikan kita bangsa yang berkarakter dan berpendidikan lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI