Mohon tunggu...
Suri Aini Iswarani
Suri Aini Iswarani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan yang sedang belajar menulis. Pencatat drama hidup, dan bereksperimen lewat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Tanpa Segan, Guru: Kini Disapa Ala Kadar

24 September 2025   15:05 Diperbarui: 24 September 2025   14:58 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

            20 tahun lalu, bagiku guru adalah pusat ilmu. Sosok yang ditakuti, dihormati sekaligus disegani. Selain mengajar di kelas, sering kali aku kena marah karena membiarkan sesobek kertas di lantai, dan tidak membuangnya ke tempat sampah. Mereka juga akan menegur kita jika berpakaian ketat, mencukur rambut anak lelaki yang gondrong, dan menghukum siswa yang tidak berpakaian lengkap saat upacara bendera.

Dalam pandanganku, mereka menerapkan sesuatu yang terkadang tidak bisa kita dapatkan dari orang tua di rumah. Seperti kedisiplinan, kesadaran diri dan juga perilaku baik lainnya.

            Aku sendiri pernah dipukul karena kuku panjang dan memakai kutek. Saat sampai ke rumah, kuceritakan hal itu pada ayahku. Alih-alih mendapat  pembelaan, aku mendapatkan tambahan hukuman.

Seolah ada budaya kolektif waktu itu, bahwa mendidik anak adalah kewajiban bersama, dan guru dianggap sebagai perpanjangan tangan orang tua di sekolah. Orang tuaku tak pernah menyalahkan apa yang guruku lakukan padaku, karena mereka sadar, jika sesuatu seperti itu terjadi maka yang salah adalah perilaku anak mereka sendiri.

            Lalu, bagaimana yang kulihat sekarang? Jauh berbeda. Di era saat ini, apa yang disebut kedisiplinan sering dianggap kekerasan. Alih-alih mendapat dukungan orang tua, sebagai pemegang otoritas pendidikan di sekolah, guru justru sering dilaporkan jika menegur terlalu keras. Lihatlah, berapa banyak berita yang menulis tentang pelaporan orang tua terhadap guru yang dianggap melakukan kekerasan. Ya, meskipun terlepas dari kasus oknum yang benar-benar menyalahgunakan kewenangannya.

            Sekali lagi, sebetulnya ini salah siapa? Mengapa ada begitu banyak kesenjangan budaya pendidikan dulu dan sekarang? Apakah ini hanyalah konsekuensi perkembangan jaman, atau ada yang keliru dalam sistem pendidikan kita dalam memosisikan peran guru di masyarakat?

            Dari pengalaman pribadi itu, aku mulai membandingkan dengan apa yang aku lihat saat ini melalui kisah temanku dan pengamatanku sendiri. Aku menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa ada pergeseran cara pandang murid maupun masyarakat terhadap guru.

            Baik, ayo kita bahas satu persatu.

            Faktor Sosial Budaya

            Globalisasi dan budaya egaliter membawa cara pandang baru dalam hubungan antar manusia. Murid kini lebih berani menyuarakan pendapat dan berekspresi, merasa setara dengan guru, bahkan terkadang melupakan batas antara hormat dan akrab.

            Bukankah sering kita temukan sekarang murid yang berani joget tiktok dengan guru mereka? Atau adegan di reels Youtube, seorang anak yang berani membantah guru di kelas dengan nada menantang, seolah diskusi tak lagi punya batas antara sopan dan lancang? Atau, murid yang dengan santai memanggil guru dengan sebutan "bro" atau "sis", seakan guru adalah teman sebaya, bukan lagi sosok yang perlu dihormati?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun