Developer harus menanggung beban buyback jika rumah dalam kondisi indent dan pembeli gagal bayar KPR
Laporan dari Tech In Asia Indonesia menyebutkan:
> "Skema subsidi DP oleh developer terbukti memicu lonjakan permintaan pada 2023, tetapi juga menjadi penyumbang naiknya NPL KPR pada semester I 2025."
(Techinasia ID, 1 Juli 2025)
Tak hanya itu, banyak konsumen kini semakin rasional dan memilih menunda pembelian. Kalangan milenial dan Gen Z---yang sebelumnya jadi target utama program stimulus---kini lebih mempertimbangkan fleksibilitas penghasilan, keamanan pekerjaan, dan beban cicilan dibandingkan tergoda promosi murah yang bersifat jangka pendek.
Sementara itu, insentif fiskal seperti PPN DTP yang sebelumnya cukup berhasil di 2023, kini juga mulai kehilangan daya dorong. Meskipun diperpanjang, banyak developer mengaku bahwa efeknya lebih kecil dari yang diharapkan, khususnya di luar Pulau Jawa.
Secara keseluruhan, meskipun terdapat upaya dari pemerintah dan pelaku industri untuk mendorong pertumbuhan sektor properti, tantangan struktural seperti daya beli yang lemah, ketatnya penyaluran kredit, dan meningkatnya risiko kredit masih menjadi hambatan utama. Â Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan terintegrasi antara kebijakan moneter, fiskal, dan strategi pasar untuk mengatasi tantangan ini.Â
Arah Strategis Pasar Properti 2025
Setelah lebih dari satu dekade menghadapi dinamika kebijakan, tekanan pasar, dan perubahan perilaku konsumen, sektor properti Indonesia memasuki fase transisi yang lebih fundamental. Di tengah kompleksitas makroekonomi dan perubahan demografi, arah strategi pasar tidak lagi bisa bertumpu pada taktik insentif sesaat. Kini, yang dibutuhkan adalah pendekatan jangka menengah dan struktural.
Pertama, arah kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah telah berpindah dari pengendalian spekulasi menuju pembukaan akses pembiayaan. Pelonggaran LTV, insentif fiskal, dan dukungan terhadap pembeli rumah pertama menjadi simbol transformasi ini. Namun, pengalaman membuktikan: stimulus dari atas tidak akan berdampak besar jika tidak bertemu dengan daya beli yang riil di lapangan.
Kedua, profil pembeli rumah kini didominasi oleh end-user, bukan investor atau spekulan lagi. Konsekuensinya, keputusan pembelian rumah sangat bergantung pada faktor fungsi dan kenyamanan hidup, bukan semata potensi capital gain. "Lokasi, transportasi publik, fasilitas sekolah, dan akses ke pekerjaan menjadi pertimbangan utama. Maka, developer yang tidak hanya membangun unit, tapi membangun kawasan dengan visi jangka panjang, akan bertahan dan tumbuh."
Ketiga, tantangan ke depan bukan hanya menjual lebih banyak, tapi membangun yang memang dibutuhkan. Artinya, tidak bisa lagi hanya mengandalkan logika "produk harga murah pasti laku." Produk yang akan berkelanjutan adalah yang selaras dengan daya beli target pasar dan didukung oleh ekosistem yang hidup---termasuk infrastruktur publik, layanan digital, hingga gaya hidup generasi baru.
Keempat, kolaborasi menjadi kunci. Hubungan antara regulator, perbankan, pengembang, dan bahkan pemerintah daerah harus dilandaskan pada pemahaman bersama tentang risiko dan kebutuhan pasar. Program yang efektif ke depan adalah yang berbasis pada saling mengisi, bukan saling menunggu inisiatif pihak lain.