konsumen---ternyata menyimpan paradoks yang kini mulai terurai satu demi satu.
"Bank harusnya mulai focus ke repayment capacity dalam pemberikan KPR bukan focus pada LTV,  jadi  jika repayment capacitynya kuat, kenapa ngak berani kasih KPR dengan LTV 100 prosen, ini kan aset base lending atau kedit konsumtif, berbeda dengan kredit produktif /kredit usaha atau project financing , yang secara konsep  memang diperlukan adanya kemampuan modal atau dana sendiri, sedangkan di kredit  konsumtif atau KPR walapun diberikan dengan LTV 100 prosen, debitur KPR masih mengeluarkan biaya KPR, Notaris, Asuransi dan pajak BPHTP."
Realita 2025 & Tantangan Baru
Memasuki pertengahan 2025, sektor properti Indonesia masih menghadapi tekanan struktural meskipun sejumlah stimulus telah digelontorkan oleh otoritas moneter maupun fiskal. Kebijakan LTV 100% dari Bank Indonesia dan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) yang diperpanjang hingga akhir tahun ternyata belum cukup kuat untuk mengungkit daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan pasar secara signifikan.
Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia Q1 2025 mencatat bahwa:
Harga rumah tetap naik sebesar 1,46% YoY meski lebih lambat dari triwulan sebelumnya (1,76%).
Penjualan rumah tumbuh tipis hanya 0,73% (YoY) dan bahkan mengalami kontraksi sebesar -8,35% secara kuartalan (QoQ), menandakan pasar masih lemah secara fundamentalSumber: SHPR BI Q1 2025.
Peningkatan penjualan hanya terjadi pada segmen rumah tipe kecil, sementara rumah menengah dan besar masih tertekan. Bahkan menurut laporan Pasardana.id (6 Mei 2025), tren pembelian lewat KPR juga mulai turun:
Fenomena ini turut menurunkan minat bank terhadap strategi pemasaran agresif dari developer, khususnya yang menggunakan skema subsidi DP dan biaya-biaya KPR melalui price-in.
Skema ini sebelumnya memang sempat menggairahkan pasar dengan kampanye "Cukup Bayar 5 Juta All-In, Sudah Bisa Akad", namun di lapangan muncul risiko sistemik:
Nilai cicilan meningkat karena harga rumah dinaikkan secara artifisial.
Kualitas kredit merosot karena pembeli tidak benar-benar memiliki modal awal dan bank masih focus ekspansi dengan lebih melihat ke faktor LTV dibandingkan repayment capacity.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!