Mohon tunggu...
Rooma21
Rooma21 Mohon Tunggu... property technology

Rooma21.com adalah platform proptech (property technology) yang bertransformasi dari broker properti tradisional menjadi layanan broker modern berbasis teknologi, khususnya di wilayah Greater Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kebijakan LTV BI 2025 - Strategi Developer dan Harga Rumah

12 Juli 2025   18:56 Diperbarui: 12 Juli 2025   18:56 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rooma21.com, Jakarta - Pasca pandemi COVID-19, sektor properti Indonesia belum sepenuhnya pulih. Meskipun ekonomi nasional mulai bangkit, pasar perumahan masih mengalami tekanan berat. Data Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia mencatat bahwa hingga Triwulan I 2025, penjualan rumah di pasar primer masih mengalami kontraksi sebesar 7,14% secara tahunan (YoY). Penurunan ini bukan hanya terjadi pada segmen apartemen yang memang sudah stagnan sejak sebelum pandemi, tapi juga merembet ke rumah tapak, khususnya rumah tipe kecil dan menengah.

Kelesuan ini bukan semata soal daya beli, tapi juga soal perubahan karakteristik pembeli. Jika sebelum pandemi pasar sempat diramaikan oleh investor dan spekulan, maka sejak 2021 ke atas, segmen tersebut mulai menyusut drastis. Penyebabnya beragam: regulasi yang makin ketat, biaya transaksi yang tinggi, hingga ketidakpastian return investasi properti. Yang tersisa di pasar kini adalah end user, terutama kalangan first home buyer dari generasi milenial dan Gen Z yang memiliki tantangan tersendiri---terbatasnya penghasilan tetap, tingginya suku bunga KPR, serta ketergantungan pada insentif atau program subsidi untuk bisa membeli rumah.

"Fenomena ini menyebabkan mismatch antara penawaran dan permintaan. Di satu sisi, developer harus terus meluncurkan proyek untuk menjaga arus kas dan kredit berjalan. Di sisi lain, konsumen tidak serta-merta merespons dengan daya beli yang kuat. Rumah tetap dibutuhkan, tapi makin sulit dijangkau. Inilah awal dari paradoks besar yang akan terus mewarnai dinamika properti Indonesia pasca pandemi."

Dalam artikel ini, kita akan menelusuri lebih dalam bagaimana kebijakan Loan to Value (LTV) yang diluncurkan Bank Indonesia sejak 2012---sebagai respons atas kekhawatiran bubble properti---justru berdampak kompleks terhadap penjualan rumah dan penyaluran KPR. Kita juga akan membedah mengapa pelonggaran LTV hingga 100% tidak serta-merta mampu mendongkrak pasar, meski dibarengi insentif seperti PPN ditanggung Pemerintah. Di bagian akhir, kita akan melihat bagaimana developer merespons stagnasi ini melalui strategi harga yang kreatif namun kontroversial: mensubsidi DP dan biaya KPR melalui skema harga rumah "price-in.

"Dengan pendekatan ini, artikel akan mengupas secara sistematis perjalanan 10 tahun kebijakan properti Indonesia---dari ketatnya regulasi hingga eksploitasi celah insentif oleh pelaku pasar. Artikel ini tidak hanya menjadi refleksi kebijakan, tapi juga pembelajaran untuk masa depan."

LTV & Kekhawatiran Bubble Properti 

siapa-menggerakkan-harga-rumah-di-tengah-kebijakan-ltv-krisis-daya-beli-5-68724d22c925c4574265c1c2.png
siapa-menggerakkan-harga-rumah-di-tengah-kebijakan-ltv-krisis-daya-beli-5-68724d22c925c4574265c1c2.png
Pada 2012, pasar properti Indonesia sedang berada di puncak euforia. Harga rumah terus menanjak, pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) mencetak dua digit, dan animo investor terhadap properti sebagai aset makin tinggi. Di tengah optimisme ini, Bank Indonesia justru melihat tanda-tanda bahaya. Gelembung properti (property bubble) yang menghantui Tiongkok mulai terlihat dalam skala kecil di beberapa kota besar Indonesia: rumah dan apartemen dibeli bukan untuk dihuni, melainkan untuk disimpan, dijual kembali, atau dijadikan instrumen spekulasi.

Sebagai respons preventif, BI pada pertengahan 2012 mengeluarkan kebijakan pembatasan Loan to Value (LTV). Kredit rumah kini dibatasi: maksimal 70% dari harga rumah, artinya konsumen wajib menyediakan uang muka (DP) 30%. Aturan ini juga melarang pemberian KPR untuk rumah yang masih inden, khususnya untuk pembelian kedua dan ketiga. 

Semangatnya adalah cooling down pasar dan menghindari gelembung---tujuan makroprudensial yang penting. Namun di lapangan, kebijakan ini memukul keras pasar perumahan, terutama di segmen investasi dan spekulatif.

Dampaknya terasa cepat. Penjualan rumah menurun tajam, terutama di proyek-proyek apartemen dan rumah menengah atas yang sebelumnya jadi incaran investor. Pertumbuhan KPR melambat, dan pasar mulai kehilangan volume. Investor dan spekulan mundur dari pasar, dan pembeli end user belum siap menggantikan---terutama karena harus menyiapkan DP besar dan menghadapi proses perbankan yang makin ketat.

Melihat tekanan ini, BI mulai melakukan relaksasi secara bertahap sejak 2015. Larangan KPR inden mulai dibuka, meski tetap dengan prasyarat ketat: developer harus memenuhi kriteria tertentu dan pencairan kredit dilakukan bertahap mengikuti progres pembangunan. Kemudian, LTV untuk rumah pertama ditingkatkan dari 70% menjadi 80%, lalu 85%, dan akhirnya sejak 2018 diperbolehkan hingga 100%---tentu dengan catatan bank memenuhi syarat rasio kredit bermasalah (NPL) yang sehat.

Tapi pelonggaran ini tidak serta-merta memulihkan pasar. Meskipun secara aturan DP bisa nol, faktanya mayoritas perbankan tetap mensyaratkan uang muka minimal 5--10%. Kekhawatiran akan risiko kredit macet tetap menjadi pertimbangan utama, terutama di tengah banyaknya pembeli dari kalangan pekerja informal yang penghasilannya tidak tetap. Akibatnya, pelonggaran LTV tidak pernah benar-benar terasa di lapangan.

Ironisnya, meskipun sudah ada kebijakan mendukung kepemilikan rumah pertama, pertumbuhan KPR tetap stagnan dan penjualan properti tidak melonjak signifikan. Spekulan sudah hengkang, sementara end user masih terhalang syarat finansial. Pasar properti berubah menjadi dominasi pembeli riil---generasi muda, pasangan baru menikah, atau keluarga muda yang membeli rumah pertama. Ini menjadikan properti bukan lagi instrumen investasi cepat untung, tetapi kembali ke fungsi dasarnya: kebutuhan tempat tinggal.

"Inilah fondasi dari paradoks yang akan terus berkembang: ketika kebijakan moneter longgar tidak cukup untuk menyalakan gairah pasar yang struktur dasarnya telah berubah total."

Pelonggaran LTV Tidak Menjadi Jawaban

Setelah bertahun-tahun menerapkan kebijakan ketat terhadap pembiayaan properti, Bank Indonesia (BI) akhirnya mengubah haluan. Di awal 2021, BI melonggarkan rasio Loan to Value (LTV) hingga 100% untuk rumah pertama, memberikan fleksibilitas bagi bank untuk menyalurkan KPR tanpa mewajibkan uang muka. Pelonggaran ini diluncurkan sebagai bagian dari paket kebijakan pemulihan ekonomi nasional, menyusul hantaman pandemi yang menekan daya beli masyarakat dan memperlambat sektor properti secara signifikan.

Di atas kertas, kebijakan ini sangat progresif: calon pembeli rumah pertama tidak lagi harus menabung bertahun-tahun untuk sekadar menyiapkan DP. Namun realitas di lapangan berbeda jauh. Mayoritas bank tetap menetapkan minimum DP 5--10% sebagai syarat mutlak pengajuan KPR. Alasannya sederhana: manajemen risiko.

Data dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) menunjukkan bahwa hingga akhir 2021, hanya sekitar 1,7% dari total penyaluran KPR mereka yang menggunakan skema LTV 100%,  angka ini memang meningkat dari 0,5% di 2020, tapi tetap menunjukkan bahwa kebijakan LTV penuh belum dijalankan secara masif di industri perbankanSumber: CNBC Indonesia, 2021.

Bahwa Bank tetap khawatir terhadap potensi peningkatan non-performing loan (NPL), terutama karena target market LTV 100% adalah konsumen rumah pertama yang umumnya berasal dari kalangan muda atau pekerja informal, dengan riwayat kredit belum stabil. Oleh karena itu, meskipun regulasi mengizinkan tanpa DP, bank hanya bersedia memberikan pembiayaan penuh kepada nasabah dengan profil risiko sangat rendah, dalam kontek ini perbankan berani berikan KPR LTV 100 % hanya apabila penyaluran gajinya lewat bank (payroll base), layaknya kayak memberikan Kredit Tanpa Agunan, walo KPR sebenarnya konsepnya atau pendekatanya berbeda, ini kan aset base landing, dan "jika bank tetap kawatir akan potensi resikonya, Bank sebenarnya bisa alihkan resikonya ke lembaga penjaminan kredit atau asuransi kredit, kayak di kredit tanpa agunan ataupun KPR program FLPP."

Sementara itu, dari sisi konsumen, pembelian rumah masih membutuhkan biaya tambahan di luar harga properti. Komponen seperti pajak BPHTB (5%), biaya KPR (provisi, asuransi, notaris), serta administrasi lain,  menambah beban pembelian sebesar 8--10% dari harga rumah. Akibatnya, walaupun KPR bisa 100% dari harga rumah, sebenarnya konsumen tetap harus mengeluarkan dana cash di awal.

Pemerintah mencoba menjembatani kesenjangan ini dengan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP), mulai 2021 yang hingga kini masih diperpanjang. Tujuannya: meringankan beban transaksi bagi pembeli rumah pertama. Misalnya, pembeli rumah seharga Rp500 juta mendapat potongan PPN hingga Rp55 juta. Namun, meskipun membantu, program ini tidak cukup kuat untuk mendorong lonjakan penjualan.

Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia Q1 2025 menegaskan hal tersebut: penjualan rumah di pasar primer masih turun 7,14% YoY, meskipun Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) tetap naik 1,46% YoY. Ini menandakan bahwa pelonggaran kebijakan belum mampu mengatasi stagnasi permintaan.

Selain itu, perubahan struktur pasar juga berperan besar. Saat ini pasar properti telah bergeser dari spekulan dan investor ke end user murni, terutama dari generasi Milenial dan Gen Z. Mereka lebih selektif, sangat sensitif terhadap bunga KPR, dan lebih memperhatikan biaya hidup jangka panjang daripada sekadar harga promosi. Keputusan membeli rumah kini bukan soal ikut tren, tapi soal kemampuan dan keberlanjutan finansial.

Kesimpulannya, "meskipun BI telah memberikan pelonggaran maksimal dalam skema LTV dan pemerintah turut memberikan insentif PPN, realitanya pasar tidak merespons dengan antusias. Bank tetap berhati-hati, daya beli tidak pulih sepenuhnya, dan struktur pasar sudah berubah. Paradoks pun muncul: regulasi semakin longgar, namun bank dan konsumen justru semakin konservatif."

Strategi Developer: Price-In sebagai Jurus Pamungkas

Sumber : Rooma21.com
Sumber : Rooma21.com

Dalam situasi pasar properti yang masih belum sepenuhnya pulih, developer mengambil langkah paling agresif untuk menarik minat pembeli --- strategi pemasaran "subsidi total" atau yang secara teknis dikenal dengan pendekatan price-in. Strategi ini sempat populer dan efektif di tahun 2023 hingga 2024.

Intinya, seluruh komponen biaya awal yang seharusnya ditanggung pembeli --- mulai dari down payment (DP), biaya-biaya KPR (provisi, asuransi, notaris) hingga pajak BPHTB 5% --- dimasukkan ke dalam harga jual rumah. Jika dihitung, total komponen ini bisa mencapai 15--20% dari harga rumah. "Praktiknya, konsumen hanya diminta membayar booking fee sebesar Rp 5juta hingga Rp10 juta." Selanjutnya, polanya adalah developer akan mentransfer dana ke rekening calon pembeli, yang digunakan kembali untuk pembayaran DP dan biaya KPR. Dana tersebut lalu kembali lagi ke rekening developer, sebagai bukti pembayaran uang muka dan ke Bank sebagai biaya2 KPR dan dokumen pembelian pun tampak sesuai di administrasi kredit bank.

Secara administratif, bank tetap melihat bahwa syarat pengajuan KPR terpenuhi: pembeli telah menyiapkan DP, menunjukkan transaksi biaya, dan harga rumah sesuai Dokumen Surat Pesanan Rumah (SPR), bank mengasep nilai properti sesuai yang tercantum dalam surat pesanan rumah. Tapi kenyataannya, skema ini adalah simulasi sirkular: dana hanya berputar untuk memenuhi syarat administratif, tanpa partisipasi cash murni dari pembeli.

Strategi ini mampu mendongkrak penjualan rumah, terutama di segmen menengah bawah. Konsumen yang sebelumnya tak sanggup mengumpulkan DP atau biaya transaksi langsung tergoda dengan kampanye "Cukup 5 Juta All-In, Langsung Akad". Beberapa developer bahkan melaporkan kenaikan pemesanan hingga dua kali lipat dalam waktu singkat.

Namun di balik itu semua, risiko besar sedang mengendap. Karena nilai KPR didasarkan pada harga jual yang sudah dipoles (termasuk komponen subsidi), jumlah cicilan bulanan menjadi lebih tinggi. Ketika terjadi guncangan ekonomi atau ketidaksesuaian arus kas rumah tangga, potensi gagal bayar meningkat. Dan itu mulai terjadi.

Pada pertengahan 2024, sejumlah bank mulai melaporkan kenaikan Non-Performing Loan (NPL) dari sektor KPR.  Sebagai respons, bank mulai memperketat persyaratan pengajuan dan approval KPRnya.

Di sisi lain, pengembang segmen menengah atas---yang umumnya menjual rumah dalam kondisi indent atau belum dibangun---justru mulai menghindari skema ini. Alasannya: selama bangunan belum selesai dan belum dilakukan akad jual-beli final (PPJB menjadi AJB), developer tetap menanggung risiko buyback jika pembeli gagal bayar. Artinya, jika bank membatalkan KPR di tengah jalan karena terjadinya tunggakan, beban unit kembali ke tangan developer --- lengkap dengan seluruh implikasi keuangan dan reputasi.

Realita ini membuat banyak developer kini lebih selektif. Skema "subsidi all-in" bukan lagi senjata utama, melainkan opsi terbatas untuk unit-unit ready stock atau sisa inventory. Yang tersisa dari euforia strategi price-in hanyalah jejak kampanye besar-besaran, dan pelajaran mahal bahwa pasar tidak bisa dimanipulasi hanya dengan gimmick harga.

Pada akhirnya, strategi ini terbukti efektif dalam jangka pendek, namun menimbulkan risiko sistemik dalam jangka menengah. Skema yang awalnya terlihat sebagai win-win solution---antara developer, bank, dan 

konsumen---ternyata menyimpan paradoks yang kini mulai terurai satu demi satu.

"Bank harusnya mulai focus ke repayment capacity dalam pemberikan KPR bukan focus pada LTV,  jadi  jika repayment capacitynya kuat, kenapa ngak berani kasih KPR dengan LTV 100 prosen, ini kan aset base lending atau kedit konsumtif, berbeda dengan kredit produktif /kredit usaha atau project financing , yang secara konsep  memang diperlukan adanya kemampuan modal atau dana sendiri, sedangkan di kredit  konsumtif atau KPR walapun diberikan dengan LTV 100 prosen, debitur KPR masih mengeluarkan biaya KPR, Notaris, Asuransi dan pajak BPHTP."

Realita 2025 & Tantangan Baru

Memasuki pertengahan 2025, sektor properti Indonesia masih menghadapi tekanan struktural meskipun sejumlah stimulus telah digelontorkan oleh otoritas moneter maupun fiskal. Kebijakan LTV 100% dari Bank Indonesia dan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) yang diperpanjang hingga akhir tahun ternyata belum cukup kuat untuk mengungkit daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan pasar secara signifikan.

Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia Q1 2025 mencatat bahwa:

  • Harga rumah tetap naik sebesar 1,46% YoY meski lebih lambat dari triwulan sebelumnya (1,76%).

  • Penjualan rumah tumbuh tipis hanya 0,73% (YoY) dan bahkan mengalami kontraksi sebesar -8,35% secara kuartalan (QoQ), menandakan pasar masih lemah secara fundamentalSumber: SHPR BI Q1 2025.

  • Peningkatan penjualan hanya terjadi pada segmen rumah tipe kecil, sementara rumah menengah dan besar masih tertekan. Bahkan menurut laporan Pasardana.id (6 Mei 2025), tren pembelian lewat KPR juga mulai turun:

Fenomena ini turut menurunkan minat bank terhadap strategi pemasaran agresif dari developer, khususnya yang menggunakan skema subsidi DP dan biaya-biaya KPR melalui price-in.

Skema ini sebelumnya memang sempat menggairahkan pasar dengan kampanye "Cukup Bayar 5 Juta All-In, Sudah Bisa Akad", namun di lapangan muncul risiko sistemik:

  • Nilai cicilan meningkat karena harga rumah dinaikkan secara artifisial.

  • Kualitas kredit merosot karena pembeli tidak benar-benar memiliki modal awal dan bank masih focus ekspansi dengan lebih melihat ke faktor LTV dibandingkan repayment capacity.

  • Developer harus menanggung beban buyback jika rumah dalam kondisi indent dan pembeli gagal bayar KPR

Laporan dari Tech In Asia Indonesia menyebutkan:

> "Skema subsidi DP oleh developer terbukti memicu lonjakan permintaan pada 2023, tetapi juga menjadi penyumbang naiknya NPL KPR pada semester I 2025."

(Techinasia ID, 1 Juli 2025)

Tak hanya itu, banyak konsumen kini semakin rasional dan memilih menunda pembelian. Kalangan milenial dan Gen Z---yang sebelumnya jadi target utama program stimulus---kini lebih mempertimbangkan fleksibilitas penghasilan, keamanan pekerjaan, dan beban cicilan dibandingkan tergoda promosi murah yang bersifat jangka pendek.

Sementara itu, insentif fiskal seperti PPN DTP yang sebelumnya cukup berhasil di 2023, kini juga mulai kehilangan daya dorong. Meskipun diperpanjang, banyak developer mengaku bahwa efeknya lebih kecil dari yang diharapkan, khususnya di luar Pulau Jawa.

Secara keseluruhan, meskipun terdapat upaya dari pemerintah dan pelaku industri untuk mendorong pertumbuhan sektor properti, tantangan struktural seperti daya beli yang lemah, ketatnya penyaluran kredit, dan meningkatnya risiko kredit masih menjadi hambatan utama.  Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan terintegrasi antara kebijakan moneter, fiskal, dan strategi pasar untuk mengatasi tantangan ini. 

Arah Strategis Pasar Properti 2025

Setelah lebih dari satu dekade menghadapi dinamika kebijakan, tekanan pasar, dan perubahan perilaku konsumen, sektor properti Indonesia memasuki fase transisi yang lebih fundamental. Di tengah kompleksitas makroekonomi dan perubahan demografi, arah strategi pasar tidak lagi bisa bertumpu pada taktik insentif sesaat. Kini, yang dibutuhkan adalah pendekatan jangka menengah dan struktural.

Pertama, arah kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah telah berpindah dari pengendalian spekulasi menuju pembukaan akses pembiayaan. Pelonggaran LTV, insentif fiskal, dan dukungan terhadap pembeli rumah pertama menjadi simbol transformasi ini. Namun, pengalaman membuktikan: stimulus dari atas tidak akan berdampak besar jika tidak bertemu dengan daya beli yang riil di lapangan.

Kedua, profil pembeli rumah kini didominasi oleh end-user, bukan investor atau spekulan lagi. Konsekuensinya, keputusan pembelian rumah sangat bergantung pada faktor fungsi dan kenyamanan hidup, bukan semata potensi capital gain. "Lokasi, transportasi publik, fasilitas sekolah, dan akses ke pekerjaan menjadi pertimbangan utama. Maka, developer yang tidak hanya membangun unit, tapi membangun kawasan dengan visi jangka panjang, akan bertahan dan tumbuh."

Ketiga, tantangan ke depan bukan hanya menjual lebih banyak, tapi membangun yang memang dibutuhkan. Artinya, tidak bisa lagi hanya mengandalkan logika "produk harga murah pasti laku." Produk yang akan berkelanjutan adalah yang selaras dengan daya beli target pasar dan didukung oleh ekosistem yang hidup---termasuk infrastruktur publik, layanan digital, hingga gaya hidup generasi baru.

Keempat, kolaborasi menjadi kunci. Hubungan antara regulator, perbankan, pengembang, dan bahkan pemerintah daerah harus dilandaskan pada pemahaman bersama tentang risiko dan kebutuhan pasar. Program yang efektif ke depan adalah yang berbasis pada saling mengisi, bukan saling menunggu inisiatif pihak lain.

Kelima, kepercayaan adalah aset utama industri ini. Konsumen saat ini lebih rasional dan skeptis. Mereka tidak hanya membeli rumah, tapi membeli komitmen developer, kredibilitas bank, dan jaminan dari negara bahwa infrastruktur dan hukum akan mendukung pilihan hidup mereka. Dalam konteks ini, membangun rumah berarti membangun kepastian.

Kesimpulanya : pasar properti 2025 bukan sekadar cerita tentang naik-turunnya harga atau strategi pemasaran developer. Ia adalah cerminan dari perubahan struktural yang lebih dalam---tentang bagaimana regulasi, perilaku konsumen, daya beli, dan ketahanan industri saling berkelindan.

Jika dulu strategi properti cukup mengandalkan insentif dan gimmick, hari ini realitasnya jauh lebih kompleks. Konsumen makin cerdas, bank makin selektif, dan regulasi makin dinamis. Artinya, satu-satunya jalan ke depan adalah dengan membangun ekosistem yang berkelanjutan: membangun yang benar-benar dibutuhkan, di tempat yang tepat, dengan cara yang dapat diakses oleh masyarakat luas.

"Properti bukan sekadar komoditas. Ia adalah bagian dari ekosistem kehidupan. Dan strategi terbaik bukan tentang menjual lebih cepat, tapi membangun dengan presisi dan niat jangka panjang."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun