Abstrak:
Indonesia, dengan segala potensi geografi, demografi, dan kekayaan sumber dayanya, telah sekian lama menyandang status "negara berkembang" tanpa tanda-tanda lonjakan struktural menuju negara maju. Artikel ini mengupas secara mendalam dan multidimensional mengapa stagnasi ini terjadi.
Dengan pendekatan interdisipliner dari ekonomi politik, sosiologi pembangunan, dan teori kelembagaan, tulisan ini menelanjangi jantung persoalan Indonesia yang kerap diselimuti euforia nasionalisme semu. Artikel ini bukan sekadar pemetaan masalah, tetapi juga panggilan untuk mendobrak status quo melalui reformasi institusional yang radikal dan revolusi kebudayaan rasional.
1. Pendahuluan: Paradoks Negeri Potensial
Indonesia telah 79 tahun merdeka, namun posisi geopolitiknya tetap terseok dalam kategori "developing country". Retorika tentang "potensi besar" sudah berulang kali diucapkan dalam pidato-pidato kenegaraan, namun realitasnya tetap stagnan. PDB per kapita naik, tapi struktur ekonomi tak berubah signifikan. Apa yang salah?
2. Jebakan Struktural: Oligarki dalam Demokrasi Prosedural
Indonesia mengalami demokratisasi secara prosedural, bukan substantif. Oligarki ekonomi-politik justru beradaptasi dan memperkuat cengkeramannya dalam sistem demokrasi.
Jeffrey Winters (2011) menyebut ini sebagai oligarchic democracy: ketika segelintir elite memanfaatkan demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan ekonomi-politik mereka.
Praktik klientelisme dan patronase menjadikan jabatan sebagai alat transaksional. Pemimpin dipilih bukan karena visi, tetapi karena koalisi. Kebijakan publik kehilangan rasionalitasnya karena tersandera logika balas budi politik.
3. Ekonomi Komoditas: Negara Tanpa Daya Tawar Industri
Indonesia masih menggantungkan ekonomi pada ekspor bahan mentah: batu bara, kelapa sawit, nikel. Ketika harga dunia naik, ekonomi tumbuh; ketika anjlok, ekonomi kolaps.
Negara tak memiliki kapasitas teknologi dalam rantai nilai global. Upaya hilirisasi belum menyentuh esensi: transformasi teknologi. Tanpa riset dan pengembangan yang kuat, Indonesia akan tetap sebagai supplier mentah bagi mesin kapitalisme global.
Data World Bank (2023): R&D spending Indonesia hanya 0,3% dari PDB, jauh di bawah Korea Selatan (4,9%) atau China (2,4%).
4. Pendidikan Tinggi yang Tak Tinggi