Universitas di Indonesia masih sibuk dengan akreditasi administratif dan bukan pencapaian ilmiah. Konektivitas antara universitas dan industri hampir nihil. Tidak ada ekosistem inovasi yang mendorong ekonomi berbasis pengetahuan.
Lulusan perguruan tinggi lebih banyak mengisi sektor informal dibanding sektor produktif formal. Ini bukan karena "minim lapangan kerja", melainkan karena kurangnya daya saing keterampilan dan inovasi.
5. Birokrasi yang Korup dan Tak Efisien
Birokrasi kita gemuk namun tidak lincah. Alih-alih sebagai mesin pelayanan publik, birokrasi sering menjadi bottleneck utama pembangunan. Korupsi bersifat sistemik, bukan insidental. Mekanisme pengawasan lemah, dan sanksi jarang menyentuh aktor-aktor besar.
Dalam teori path dependence, sistem yang buruk akan terus direproduksi jika tidak ada intervensi radikal yang memutus rantainya.
6. Ketimpangan Sosial dan Keadilan yang Timpang
Pembangunan Indonesia terpusat di Jawa dan wilayah urban. Desa dan wilayah timur Indonesia sering diposisikan sebagai objek pembangunan, bukan subjek.
Gini Ratio Indonesia stagnan di angka 0.38--0.40, mencerminkan ketimpangan yang membahayakan kohesi sosial.
7. Budaya Politik: Anti-Kritik dan Irrasionalitas Kolektif
Salah satu kendala paling mendasar adalah budaya politik yang feodal, paternalistik, dan alergi terhadap rasionalitas. Kritik dianggap ancaman, bukan koreksi. Intelektual dikerdilkan; populisme dan euforia nasionalisme palsu dipuja.
Dalam masyarakat yang tidak memuliakan nalar, kebijakan tidak lahir dari argumen terbaik, tapi dari narasi terkeras.
8. Ketergantungan Global yang Membelenggu
Indonesia terjebak dalam struktur kapitalisme global yang menjadikannya pasar, bukan produsen utama. Investasi asing masuk, namun tidak mendorong teknologi lokal. Utang luar negeri membengkak, tetapi tidak memperkuat kapasitas domestik.
9. Apa yang Harus Dilakukan? Jalan Reformasi Struktural-Rasional
Untuk keluar dari stagnasi ini, Indonesia memerlukan lompatan: