Mohon tunggu...
Ronald Pasir
Ronald Pasir Mohon Tunggu... Political Watch Dog. Never give up in fighting corruption and injustice.

Open minded, tall and brown skin. Love travelling, fishing and adventures. Interest in phillosophy, art, reading and writing. Motto: "Boleh patah semangat tapi jangan putus asa menyuarakan kebenaran. Menulis bukan untuk mencari kepopuleran tapi untuk menegakkan keadilan karena diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan"

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Oligarki, Banjir Bandang dan Negara yang Membiarkan Rakyat Tenggelam.

8 September 2025   20:24 Diperbarui: 8 September 2025   20:24 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oligarki, Banjir Bandang, dan Negara yang Membiarkan Rakyat Tenggelam

Hujan deras kembali turun di berbagai wilayah Indonesia. Televisi menayangkan gambar yang sudah akrab di mata publik: rumah hanyut, jembatan roboh, anak-anak menangis di tenda pengungsian, dan aparat sibuk mengevakuasi jenazah. Berita itu selalu sama dari tahun ke tahun. Namun, yang jarang disentuh oleh media arus utama adalah pertanyaan mendasar: mengapa banjir bandang dan tanah longsor terus berulang?

Apakah ini murni bencana alam, atau ada tangan-tangan manusia yang turut memperbesar dampaknya?

Di balik banjir dan longsor, tersimpan cerita tentang negara yang terlalu permisif terhadap oligarki bisnis. Negara yang seolah lebih setia menjaga keuntungan segelintir elite daripada keselamatan warganya.

Hutan Hilang, Air Mengamuk

Indonesia dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia. Namun, sejak awal 2000-an, deforestasi merajalela. Menurut data Global Forest Watch (2023), Indonesia kehilangan lebih dari 9 juta hektar hutan primer sejak 2002. Sebagian besar alih fungsi itu untuk perkebunan kelapa sawit dan tambang.

Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai "spons alam" untuk menyerap air hujan kini berubah menjadi hamparan sawit. Rawa gambut dikeringkan, bukit-bukit dikupas, bahkan kawasan konservasi diutak-atik. Akibatnya, air hujan tak lagi tertahan di hulu. Ia meluncur deras ke sungai, meluap, lalu menghantam pemukiman.

Seorang warga di Kalimantan Barat pernah berkata dalam wawancara dengan Mongabay (2021): "Dulu banjir setinggi lutut hanya datang sepuluh tahun sekali. Sekarang, hampir tiap tahun kami kebanjiran sampai atap rumah."

Fenomena ini bukan sekadar kebetulan, melainkan akibat langsung dari keputusan politik-ekonomi yang membuka ruang besar bagi oligarki bisnis sawit dan tambang.

Negara yang Permisif

Jika ditelisik, sebenarnya regulasi lingkungan Indonesia cukup lengkap. Ada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada juga aturan tata ruang, hingga instrumen AMDAL. Namun, mengapa kerusakan lingkungan terus meluas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun