*) "Ada Demand, Maka Ada Judi Online": Logika Terbalik Negara Digital. Counter argument terhadap pernyataan Alexander Sabar, Dirjen Pengawasan Digital, Komdigi.
-------
Di sebuah ruang rapat ber-AC di Jakarta, seorang pejabat negeri berkata dengan tenang:
"Bukan mau menyalahkan masyarakat kita, tetapi ini fakta. Kalau kita melihat prinsip adanya perkembangan atau orang membuat situs judi online, karena ada demand di masyarakat. Ada kebutuhan, dan ada yang memenuhi kebutuhan itu."
Kalimat itu keluar dari mulut Alexander Sabar, Direktur Jenderal Pengawasan Digital, Komdigi. Sebuah pernyataan yang sekilas terdengar ilmiah, bahkan rasional, tapi jika ditelisik lebih dalam justru menyerupai logika terbalik: negara bersembunyi di balik "demand" masyarakat, alih-alih mengambil peran sebagai pelindung publik.
Negara Digital, Warga Dikorbankan?
Pertanyaan mendasar: apakah tugas Komdigi sekadar mengamati demand pasar? Bukankah fungsi utama lembaga pengawas digital adalah mencegah, mengawasi, dan menindak praktik ilegal di ruang siber?
Jika logika "demand" dijadikan tameng, maka semua tindakan ilegal bisa dibenarkan. Ada demand narkoba, maka muncullah bandar. Ada demand prostitusi online, maka muncullah germo digital. Ada demand berita hoaks, maka bermunculanlah produsen hoaks.
Apakah berarti negara hanya berperan sebagai komentator? Bukankah dengan logika yang sama, rakyat juga bisa berkata: "Kalau ada demand korupsi, wajar dong ada pejabat yang korupsi?"
Permintaan Ada, Tapi Regulasi Untuk Apa?
Memang benar, dalam ilmu ekonomi, permintaan menciptakan penawaran. Tetapi negara bukan pasar bebas. Negara punya fungsi normatif: membatasi apa yang boleh dan tidak boleh. Tidak semua yang diminati rakyat harus disediakan.
Bayangkan jika semua permintaan difasilitasi:
*Ada demand untuk rokok dengan kadar nikotin lebih tinggi, apakah pemerintah lalu membolehkannya?
*Ada demand senjata api di masyarakat, apakah lalu negara mengizinkan penjualannya bebas?
Tentu tidak. Karena fungsi regulasi justru membatasi perilaku demi menjaga ketertiban umum.
Judi online jelas-jelas ilegal, merusak ekonomi keluarga, dan memicu kriminalitas. Pernyataan pejabat seolah mengakui "demand" hanya akan membuat publik bertanya: lalu apa fungsi Komdigi?
Bahasa yang Salah, Pesan yang Salah
Bahasa pejabat publik adalah bahasa kebijakan. Setiap kata yang keluar bisa memengaruhi cara masyarakat memahami masalah.
Dengan mengatakan "ada demand masyarakat", publik bisa menafsirkan:
1.Pemerintah melempar tanggung jawab ke rakyat: seolah-olah situs judi marak karena "kesalahan" rakyat yang ingin berjudi.
2.Normalisasi praktik ilegal: situs judi online dianggap wajar karena ada yang butuh.
3.Kebingungan arah kebijakan: publik tak lagi melihat negara sebagai pelindung, melainkan sekadar pengamat pasar.
Padahal, masyarakat justru menunggu narasi yang lebih tegas, seperti: "Kami akan menutup celah teknologi, menggandeng Polri, PPATK, OJK, dan Kominfo untuk menindak tegas pelaku judi online, termasuk penyedia payment gateway ilegal."
Efek Domino: Legitimasi Terselubung
Ucapan soal "demand" bukan hanya persoalan komunikasi. Ia bisa memberi legitimasi terselubung kepada pelaku.
Bayangkan Anda pemilik situs judi online. Mendengar pejabat berkata "ya karena ada demand", apa yang muncul di benak Anda?
Mungkin: "Oh, jadi pemerintah sendiri mengakui bisnis saya wajar. Saya tinggal kucing-kucingan saja dengan pemblokiran."
Ucapan ini berpotensi melemahkan efek jera. Bukan hanya pada pelaku, tetapi juga pada masyarakat yang sedang ragu: ikut main atau tidak? Jika negara sendiri seakan menyalahkan "demand", maka rasa bersalah itu bisa terkikis.
Data Keras: Kerugian dan Korban Judi Online
Untuk memberi perspektif, mari lihat angka.
*Menurut data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perputaran uang judi online di Indonesia mencapai Rp327 triliun pada 2023 (Kompas, 2024).
*Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut setidaknya 3,2 juta orang Indonesia terjerat judi online, sebagian besar kelompok usia produktif (CNBC Indonesia, 2024).
*Penelitian LIPI menunjukkan dampak sosial judi online meliputi perceraian, kriminalitas, hingga depresi.
Angka-angka ini seharusnya menjadi alarm. Bukan sekadar bahan analisis "demand", melainkan dasar kebijakan tegas untuk proteksi warga negara.
Bandingkan dengan Negara Lain
*Singapura: hanya memberi lisensi terbatas kepada dua operator resmi (Singapore Pools & Singapore Turf Club). Semua situs judi ilegal diblokir keras, dan pelaku dihukum berat.
*China: menindak judi online lintas negara dengan operasi khusus, bahkan bekerja sama dengan Kamboja dan Filipina untuk memulangkan warga yang terlibat.
*Inggris: memang melegalkan judi, tetapi dengan regulasi ketat, perlindungan konsumen, dan mekanisme pencegahan kecanduan.
Indonesia? Masih sibuk berdebat soal "demand", sementara situs judi bermunculan setiap hari.
Satir: Kalau Begitu, Mari Legalkan Semua!
Jika logika "ada demand, maka ada penawaran" dipakai pejabat negara, mari kita konsisten.
*Karena ada demand korupsi, mari kita buat platform e-korupsi.
*Karena ada demand narkoba, mari kita buat aplikasi Go-Nark.
*Karena ada demand hoaks, mari kita subsidi pabrik hoaks nasional.
Absurd? Ya, sama absurdnya dengan pernyataan seorang pejabat yang seolah pasrah pada logika pasar dalam urusan kriminalitas digital.
Jalan Keluar yang Seharusnya
1.Kebijakan Teknologi
*Pemblokiran situs judi online harus memakai pendekatan AI dan big data, bukan hanya manual.
*Payment gateway ilegal harus diputus dengan kerja sama OJK dan BI.
2.Edukasi Masyarakat
*Kampanye masif soal bahaya judi online, dengan narasi emosional (kisah korban), bukan sekadar data.
*Literasi digital agar masyarakat paham modus penipuan.
3.Penegakan Hukum
*Fokus bukan hanya pada bandar, tapi juga backing politik dan keuangan di belakangnya.
*Transparansi proses hukum agar publik percaya.
4.Perbaikan Narasi Pemerintah
*Jangan lagi menyalahkan "demand". Katakan tegas bahwa judi online ilegal, merusak, dan akan ditindak keras.
Penutup: Dari Demand ke Tanggung Jawab
Judi online memang tumbuh karena ada demand. Tetapi tugas negara bukan menuding jari ke masyarakat, melainkan membatasi, melindungi, dan menindak.
Jika pejabat hanya bisa berkata "ada demand", maka sama saja negara melepaskan tanggung jawabnya. Dan di titik itu, masyarakat bisa balik bertanya: apakah masih ada demand untuk pejabat yang hanya berkomentar, tanpa memberi solusi?
Referensi
1.Kompas.com (2024). PPATK: Perputaran Uang Judi Online Capai Rp327 Triliun.
2.CNBC Indonesia (2024). Kapolri: 3,2 Juta Orang Indonesia Terjerat Judi Online.
3.BBC News (2023). How Singapore Fights Illegal Gambling.
4.The Straits Times (2023). China's Crackdown on Cross-Border Online Gambling.
5.LIPI Research (2022). Dampak Sosial Ekonomi Judi Online di Indonesia.
Disclaimer
Tulisan ini adalah opini satir berbasis fakta. Tidak bermaksud menyerang individu tertentu, melainkan mengkritisi kebijakan dan narasi pemerintah terkait judi online. Segala data bersumber dari publikasi media dan penelitian yang dapat diverifikasi.
Tagar
#JudiOnline #Komdigi #OpiniSatir #Kompasiana #DigitalPolicy
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI