Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Tour de Bromo, dari Solo ke Puncak Bromo

17 Mei 2018   14:08 Diperbarui: 17 Mei 2018   14:19 4589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Allah swt Tahu doa para musafir: hujan di redakan tatkala pita tersentuh di wilayah Nganjuk.

Sepanjang jalan yang kami lewati truk dan bus AKAP memenuhi ruas. Kami mengalah. Tidak ada gunanya menyusup diantara mereka. Begitu padat begitu redup. Kondisi ini membuatku celaka. Insiden terjadi. Ban depan terlalu ambil kekiri hingga keluar marka jalan-antara aspal dengan tanah terlalu menjurang.

Motor terjerembab. Secara reflek aku meloncat. Seorang sopir truk mencoba menolong-tempat itu pemberhentian truk muatan logistik. Catur menyusul menanyakan keadaan.

Kondisiku baik-baik saja. Hanya jeans memar dibagian dengkul. Motor juga waras cuma footstep dan pijakan rem bengkok sedikit-tidak sesuai dudukan.

Suprit diambil Catur, aku bonceng IAP. Laju kembali menelusuri rute padat. Kendara malam memang tidak panas tapi yang kami telusuri ini berisi angkuta muatan besar. Optimus Prime memenuhi bahu jalan berselingan dengan bus-Mira-Eka-Sumber Selamat. Bus-bus itu dengan enaknya melaju tenang berkecepatan tinggi. Aku punya keyakinan, urat jeri mereka-sopir bus jawa timuran-telah digadaikan.

Menempati posisi boncenger ternyata tak lebih baik. Mataku kian berat-ini kantuk kelas sumo. Helm aku pukuli, pelupuk mata aku pijiti sebagai perlawanan agar tetap melotot. Kami masih diwilayah Nganjuk.

Perjalanan harus diteruskan. Sesekali IAP merubah posisi pantat, itu merupakan respon bahwa "panas" membakar kumpulan lemaknya-perih. Hal sama terjadi padaku.  

mulutku tak lepas komat-kamit dzikir sesekali diganti senandung kecil. Posisi boncenger mendapat kesempatan luas mengamati medan. Kegelapan belum beranjak-selang seling tersorot lampu kendara dari depan maupun belakang.

Madiun menunggu kedatangan kami.

Dalam benak timbul pertanyaan: Apakah memang tidak begitu penting lampu jalan di sepanjang rute ini? Apakah dana untuk operasionalnya tidak ada? Sepertinya aku harus menyetop segala macam 'Apakah' yang mengapung dikepala. Konsentrasi sajalah pada ridingmu.

Hutan jati dengan kegelapan penuh menandai bahwa inilah hutan Saradan. Artinya wilayah Madiun terjamah. Kali kedua kami melewatinya. Bus dan truk berhimpitan menguasai aspal jalan. Perasaan, penunggang motor hanya kami bertiga. Tidak menjumpai rider lain. Jarang motor tapi ramai truk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun