Suap demi suap memberi perubahan aliran darah. Wajah kami berubah menjadi cerah-padang njingglang. Soto daging ayam cap ibu gemuk merubah penampilan jadi bertenaga. Saatnya kembali bergerak. Motor keluar dari parkiran. Debu beterbangan bercampur asap knalpot mengguyur pantura. Kami ngebut dengan kecepatan yang bisa dipertanggungjawabkan. Pokoknya njoget!
Cuaca panas dengan angin di bulan Februari menjadi catatan perjalanan paling melelahkan. Saling salip antar pengendara hal biasa di karenakan ada target yang harus dipenuhi. Kebisingan mencapai level tinggi. Klakson tumpang tindih saling serang-siapa yang paling mengagetkan itulah sang pemenang. Truk gandeng jamak dijumpai. Inilah satu dari sekian raja jalanan sedang lewat.
Kota Pasuruan mempersilahkan para pengembara lewat-terlihat hidup dengan hiruk pikuk level dewa. Sekumpulan anak kecil membawa kardus bertulis "OM TELoLET OM" memaksa aku tersenyum simpul. Ternyata fenomena ini belum surut. Plang penunjuk G.Bromo via Penanjakan berdiri tegak. Aku tatap sebentar sebagai stempel memori.
Supritku konstan show force.
Lajunya mengiris jalan padat kendara. Tetap konsentrasi-jaga akal sehatmu.
Tiba di Bangil-sebuah kota kecamatan. Beberapa waktu yang lalu diresmikan pak Jokowi sebagai ibukota kabupaten Pasuruan. Keramaiannya sama saja. Titik temu beberapa arah akan memunculkan kemacetan, walau tidak parah. Kota ini bener-bener bergemuruh.
Terus menambah kecepatan jika memungkinkan. Semua kami libas tanpa pandang bulu.
Wilayah Ngoro hanya mendengus tatkala knalpot menyemburkan deru tanpa sedikitpun menoleh. Kabupaten Mojokerto membiarkan wilayahnya terasapi semburan para pelintas batas. Acungan tangan kami berikan sebagai simbol perpisahan.
Memasuki Jombang belum adzan. Kami berinisiatif mampir di sebuah masjid. Adzan baru dikumandangkan bebarengan dengan motor diparkirkan. Segera saja ambil air wudlu untuk maghriban berjama'ah. Usai ibadah, istirahat dikhatamkan-mampir di Indomaret tak jauh dari masjid. Beli kopi instan, diteguk untuk penyegaran. Selonjorkan badan dikursi depan-meregangkan otot kusut.
Gerimis menampakkan taringnya. Kami bergegas. Jas hujan disematkan. Aku spekulasi hanya pakai bawahan saja. Ternyata baru beberapa kilometer air tumpah ruah. Mencari tempat berteduh tak dapat. Jaketku kuyub. Sebuah bangunan akhirnya nampak. Langsung disongsong-berteduh. Sudah ada yg mendahului-seorang bapak muda berjongkok.
Kami membenahi apa yang perlu dibenahi. Curah hujan tebal telah memotong waktu tempuh. Sepakat untuk meluncur lagi. Aku merasa ada yang tidak beres dengan lampu utama Suprit-redup. Sein serta bel tidak berfungsi. Biang keladinya dibagian mana? Aki? Jelas tidak mungkin, satu hari jelang berangkat udah diganti baru. Apa yang trouble? Aku biarkan. Penerangan dibantu CBR 150 yang bergantian didepan dibelakang. Kami sadar stamina berkurang, oleh karena itu motor kami pacu kisaran 50-60 KM/jam. Jarak pandang merosot-terutama diriku. Hujan deras diwaktu malam dengan akses minim penerangan membuat para pengendara motor dipaksa menaikkan beberapa strip kewaspadaan. Kami sadar diri-jadi putaran gas bermain dibawah 50 km/jam.