Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Radikalisme Bukan Terorisme

1 April 2021   12:03 Diperbarui: 1 April 2021   14:27 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi. Sumber: pixabay.com

Radikalisme acapkali dikaitkan dengan terorisme. Teroris kadang disebut berasal dari kaum radikal. Seorang pelaku bom bunuh diri lumrah dikenal radikalis, sekaligus teroris. Di saat yang sama, kita belum bisa membedakan radikalis dan teroris, radikalisme dan terorisme, serta radikal dan teror.

Secara etimologis, radikalisme berasal dari kata Latin, “radix” yang berarti akar, sumber dan asal-mula. Istilah radikal mengacu pada akar (tumbuhan). Dalam ilmu sosial, contohnya, awal pemikiran modern yang radikal menunjuk pada dasar pijakan, prinsip pertama dan yang paling substansial.

Argumen agama dan filsafat pun menggunakan jalan pikir ini. Bahwa agama mesti berpijak pada prinsip radikal, yakni: yang utama, prinsip pertama. Kitab suci bisa jadi salah satu rujukan itu. Selebihnya, kemanusiaan diletakkan di atas segalanya. 

Radikalisme Agama 

Radikalisme agama, misalnya, pernah terjadi dalam sejarah Gereja. Pertentangan isu-isu dogmatis, Kristologis, eklesiologis, karya pastoral, antropologis dan iman pernah ada. Melalui 95 tesisnya pada 1517, Martin Luther mengajak Gereja Katolik kembali ke dasar, pedoman dan prinsip yang alkitabiah, sesuai ajaran Gereja. Ia menolak ajaran indugensi (pengampunan dosa). Bagi Luther, keselamatan bukan oleh perbuatan baik melainkan karunia Allah (Deo gratia).

Selain Luther, beberapa tokoh dalam sejarah Gereja berhaluan radikalis. Ada Gregory Nazianzen (teolog Trinitas Ortodoks, 329-390), Jean Calvin (teolog Kristen Calvinisme, 1509-1564), Erich Fromm (filsuf sosial, 1900-1980),  dan Paul Ricoeur (cendikiawan Kristen, 1913-2005). Mereka membahas pemikiran Kristen secara radikal.

Hal ini menggambarkan agama selalu berdiri di antara tradisionalisme dan radikalisme. Namun, radikalisme dalam agama dilakukan dalam terang kebenaran dan kasih Ilahi. Makanya, radikalisme selalu melahirkan reformasi-dengan kaum reformisnya, bukan terorisme (dengan terorisnya).

Radikalisme Filosofis

Sementara dalam filsafat, Rene Deccartes terkenal sangat radikal. Melalui epistemologisnya, ia menganalisis pengetahuan dengan cara memikirkan hakikat dasar dari sebuah pengetahuan. Ia ingin “kembali ke kondisi-kondisi dasar” sebuah pengetahuan. Pembelaan tatanan yang mapan sebagai sesuatu yang radikal ala Descartes mampu mengguncang fondasi dasar yang diaminkan oleh pemikir sebelumnya.

Misalnya, “cogito ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada). Bagi Descartes, satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang itu sendiri.

Sama seperti Descartes, begitu pun Thomas Hobbes. Ia sangat radikal dalam menyimpulkan catatan yang konsisten secara rasional tentang tatanan politik. Premis dasarnya sifat manusia. Ia mengancam monarkhi absolut, sebagai kekuasaan yang sah. Bagi Hobbes, “Homo homini lupus” (Manusia adalah sarigala bagi yang lain). Ia menentang kekuasaan raja yang tidak adil.

Demikian juga Emanuel Kant. Ia sangat radikal. Ia meletakkan dasar penting pengetahuan, akan hak kehidupan, dan manusia sebagai objek alam.

Salah tiga filsuf di atas adalah contoh bahwa kaum radikal selalu berjalan dalam analisis pengetahuan. Mereka memperjuangkan dasar pengtahuan yang sejati. Mereka mencari perubahan sistematis, cepat dan menyeluruh. Mereka memikirkan ulang rasionalisasi atas dasar tatanan sosial. Gagasan radikal (antihierarkis) para filsuf mengupayakannya dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan, yang dipandu cahaya kebenaran dan indra akal sehat.

Radikalisme bukan Terorisme

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring memuat tiga arti radikalisme. Ketiganya adalah, (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.

Pengertian kedua di atas, menurut saya agak belum tepat. Sebab dalam sejarahnya, radikalisme tidak dilakukan dengan kekerasan. Seperti cikal bakal gerakan Protestantisme, lebih menjunjung tinggi “rahmat Allah” sebagai dasar/asal mula sumber untuk membaharuai Gereja Katolik. Reformasi kekristenan tak mengebiri ajaran cinta kasih. 

Dan Gereja Katolik akhirnya bersyukur, bahwa “reformasi dari dalam” berhasil. Dinamika radikalisme mendewasakan iman dan ajaran Katolik hingga kini.

Lalu, entah atas dasar apa, terorisme dikaitkan dengan paham radikalisme? Terorisme memiliki kompleksitasnya sendiri (Jajang Jahroni, ed., 2016). Terorisme adalah instrumen dari sebuah proyek politik atau agama. Pelaku teror terus berupaya meraih dukungan. Ia melakukan serangkaian aksi kekerasan di ruang publik. Tujuannya, menekan dan mengintimidasi target.

Terorisme adalah Kejahatan

Secara etimologis, terorisme berasal dari kata “teror”. Berasal dari kata Latin, “terrere”. Berarti yang membuat seseorang gemetar atau merasa ngeri. Kata ini kemudian mendapat penekanan makna sejak Revolusi Prancis pada 1789.

Faktanya, terorisme tidak hanya menebar ketakutan, melainkan melukiskan “kengerian kemanusiaan” atas kematian yang sia-sia. Terorisme mampu mengoyakkan perasaan aman dan stabil umat manusia. Ia bisa memanipulasi perasaan korban dan calon korban.

Presiden Joko Widodo pernah menyangkal penggunaan istilah radikalisme. Hal ini terkait upaya pencegahan terorisme di Indonesia. Ia melontarkan istilah lain, "manipulator agama". Namun, istilah ini aneh, makanya tidak dipungut media sebagai wahana literasi.

Perlu Radikalisme dalam Beragama

Akhirnya, saya pikir, radikalisme tidak pernah “berintim” dengan terorisme. Sungguh jauh panggang dari apinya. Akar radikalisme adalah kebenaran dalam cahaya rasional dan iman. Ia memunculkan reformasi. Radikalisme bermuara kebaikan bersama. Makanya, kaum radikalis berakrab dengan kaum reformis. Menurut saya, radikalisme agama sangat penting sebagai penjaga marwah dogma dan ajaran, bila dalam praktek beragama cenderung "mengangkang" dari sumber/akar sehakikatnya. 

Di lain sisi, akar teroris adalah anutan ideologi yang menyimpang. Ia kejahatan, bukan agama. Sebab, agama pada “akarnya” adalah nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan bagi semesta.

Kiranya, wacana kata "radikalis" dan "teroris" diluruskan ulang demi pencegahan dan penyelesaian aksi terorisme yang terus terjadi. Sebab, catutan kata yang belum tepat justru kian sulit untuk mengurai benang kusut aksi keji ini. Solusi-solusi arif nan cerdas kian tertemukan dengan wacana kata yang tepat dan benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun