Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Perempuan Sedunia dan Radikalisme

9 Maret 2024   19:35 Diperbarui: 9 Maret 2024   19:39 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap tanggal 8 Maret masyarakat global memperingati hari Perempuan sedunia. Peringatan ini berawal dari banyaknya penindasan yang diterima oleh kaum Perempuan pada masa revolusi industri, dimana duania atau dalam hal ini masyarakat global menemukan banyak cara untuk memaksimalkan hasil berkat temuan mesin-mesin pabrik.

Perempuan pada masa itu harus tunduk kepada laki-laki atau dalam hal ini kekuasaan baik untuk skala rumah tangga atau industri. Pada tataran rumah tangga, perempuan hamil berkali-kali dibanding era sebelumnya sehingga muncul generasi yang dinamakan baby boomer karena sangat banyak bayi yang lahir pada masa itu sebagai peningkatan pesat ekonomi dan ketersediaan waktu bagi mereka.

Kebetulan juga pada masa itu perkembangan ideologi radikal tumbuh subur hampir di setiap sudut dunia. Dan pada tahun 1908, adalah puncak dan perdebatan kritis bagi perempuan untuk pemenuhan hak-haknya baik di rumah tangga maupun perannya di dunia kerja dalam hal ini industri yang sedang berkembang pesat pada masa itu sampai tahun 1950-an. Pada masa ini penindasan dan ketidaksetaraan menerpa kaum perempuan dan dunia masih menganggapnya sebelah mata.

Tahun 1911 menjadi tonggak sejarah dengan disepakatinya secara bulat pendirian Hari Perempuan Internasional di Kopenhagen, Denmark. Wanita AMerika juga konsisten menyuarakan ketidakadilan bagi perempouan. Pada saat itu, peringatan internasional perdana diadakan pada 19 Maret oleh Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss.

Kini puluhan tahun setelahnya, kesetaraan gender di beberapa belahan dunia memang terjadi peningkatan kesetaraan gender, contohnya di Indonesia. Secara yuridis, permpuan di Indonesia sudah mendapat tempat yang sangat layak, misalnya produk UU yang memihak perempuan. Negara pun sudah punya kementrian khusus soal perempaun.

Malah setelah era reformasi dimana pemilihan umum dilakukan secara langsung, negara menetapkan 30% kuota untuk perempuan di legislatif. Kita lihat juga banyak sekali pemimpin perempuan, menteri perempuan, dan berbagai profesi yang dulu dipegang laki-laki  kini dipegang perempuan.

Seyampang dengan peningkatan kesetaraan pada perempuan, seperti diterangkan di atas, ideologi radikal juga berkembang ke banyak negara. Ideologi radikal ini tidak hanya di satu agama saja, namun ada beberapa keyakinan yang mempertajam fanatisme, sehingga intoleransi atas ras dan agama tertentu menjadi makin tajam. Sebut saja anti semit , atau ati kritiasi, atau anti Islam di sejumlah negara.

Kini ketika kesetaraan menjadi keyataan, ideologi radikal masih saja berlangsung di beberapa negara. Di Indonesia, intoleransi yang menjadi basis radikalisme dan kemudian (beberapa) ada yang melakukan teror, masih terjadi. Apalagi beberapa diantaranya dilakukan oleh perempuan. Mungkin kita ingat wanita yang menerobos pengamanan istana negara, dengan maksus mengingatkan presiden agar mengganti landasan negara Pancasila menjadi syariat Isla. Ini merupakan sikap intoleran terhadap perbedaan.

Sehingga ini menrupakan tantangan serius yang sama-sama harus kita berantas. Upaya untuk memaksimalkan kesetaraan gender harus kita maksimalkan, sebaliknya keterlibatan perempuan harus bisa kita minimalisir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun