Sama seperti Descartes, begitu pun Thomas Hobbes. Ia sangat radikal dalam menyimpulkan catatan yang konsisten secara rasional tentang tatanan politik. Premis dasarnya sifat manusia. Ia mengancam monarkhi absolut, sebagai kekuasaan yang sah. Bagi Hobbes, “Homo homini lupus” (Manusia adalah sarigala bagi yang lain). Ia menentang kekuasaan raja yang tidak adil.
Demikian juga Emanuel Kant. Ia sangat radikal. Ia meletakkan dasar penting pengetahuan, akan hak kehidupan, dan manusia sebagai objek alam.
Salah tiga filsuf di atas adalah contoh bahwa kaum radikal selalu berjalan dalam analisis pengetahuan. Mereka memperjuangkan dasar pengtahuan yang sejati. Mereka mencari perubahan sistematis, cepat dan menyeluruh. Mereka memikirkan ulang rasionalisasi atas dasar tatanan sosial. Gagasan radikal (antihierarkis) para filsuf mengupayakannya dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan, yang dipandu cahaya kebenaran dan indra akal sehat.
Radikalisme bukan Terorisme
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring memuat tiga arti radikalisme. Ketiganya adalah, (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.
Pengertian kedua di atas, menurut saya agak belum tepat. Sebab dalam sejarahnya, radikalisme tidak dilakukan dengan kekerasan. Seperti cikal bakal gerakan Protestantisme, lebih menjunjung tinggi “rahmat Allah” sebagai dasar/asal mula sumber untuk membaharuai Gereja Katolik. Reformasi kekristenan tak mengebiri ajaran cinta kasih.
Dan Gereja Katolik akhirnya bersyukur, bahwa “reformasi dari dalam” berhasil. Dinamika radikalisme mendewasakan iman dan ajaran Katolik hingga kini.
Lalu, entah atas dasar apa, terorisme dikaitkan dengan paham radikalisme? Terorisme memiliki kompleksitasnya sendiri (Jajang Jahroni, ed., 2016). Terorisme adalah instrumen dari sebuah proyek politik atau agama. Pelaku teror terus berupaya meraih dukungan. Ia melakukan serangkaian aksi kekerasan di ruang publik. Tujuannya, menekan dan mengintimidasi target.
Terorisme adalah Kejahatan
Secara etimologis, terorisme berasal dari kata “teror”. Berasal dari kata Latin, “terrere”. Berarti yang membuat seseorang gemetar atau merasa ngeri. Kata ini kemudian mendapat penekanan makna sejak Revolusi Prancis pada 1789.
Faktanya, terorisme tidak hanya menebar ketakutan, melainkan melukiskan “kengerian kemanusiaan” atas kematian yang sia-sia. Terorisme mampu mengoyakkan perasaan aman dan stabil umat manusia. Ia bisa memanipulasi perasaan korban dan calon korban.