“Eja, mari su kita bakar ikan dan minum di sini”
Pesan singkat itu mendarat pelan di layar handphone saya. Matahari sedikit miring ke arah barat. Saya masih duduk. Menyendiri saja di tepi muara, sebelah barat pelabuhan Maumbawa. Sebuah teluk yang indah, dengan ombak menggulung-gulung, disambut riang anak-anak memegang sebilah papan kayu, mereka bermanuver ria di atas ombak.
Saya memandang diam, seakan ikut merasakan adrenalin mereka yang terpacu. Kegembiraan kian lengkap dengan keseimbangan mereka berdiri dan meliuk-liuk di ata punggung ombak.
“Eja, su di mana? Kami tunggu la.”
Pesan singkat menyusul lagi, meski pesan pertama saya belum sempat membalasnya. Saya biarkan saja. Saya lebih memilih untuk menginstrahatkan jari-jari. Saya berjeda memijit-mijit layar handphone itu. Pesan bisa dibalas sebentar, pikir saya.
Semilir angin pantai selatan terus memburu. Mencumbu-cumbu tubuh, menghapus lelah perjalanan sejauh seratus kilometer dari Ende itu. Semakin betah saya duduk di atas batu besar itu.
“Hei, pulang sudah”, teriak seorang perempuan paruh baya yang sedari tadi duduk memacing. Ia mengusir anak-anak itu. Menyuruh mereka berhenti bermain, segera pulang. Sebab mungkin, semestinya anak-anak itu sepulang sekolah harusnya ke rumah, atau mungkin tawa ria anak-anak itu mengusir ikan-ikan sehingga mata kailnya justru menggaet bekas pempers bayi.
Anak-anak terlanjur asyik menikmati setiap gulungan ombak. Teriakan perempuan paruh baya dari bibir pantai tak dihiraukan. Lalu diambilnya beberapa kerikil, melempar anak-anak itu. Tetap saja anak-anak tak menggubrisnya. Anak-anak itu, akhirnya berlari ke tepi pantai, ketika perempuan paruh baya itu akan menyita baju dan celana yang diletakkan di pohon samping saya duduk.
Anak-anak itu mengalah lalu pulang. Tinggallah perempuan paruh baya itu memancing dengan tenang.
“Ine, su dapat berapa ekor?”, tanya saya, ingin membuka percakapan.
“Belum ada, anak. Itu gara-gara mereka ribut tadi tu. Ikan tidak mau datang,” katanya sambil mengeluarkan kata-kata yang tak pantas disebut.