Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Paruh Baya di Teluk Maumbawa

15 September 2016   17:42 Diperbarui: 15 September 2016   18:08 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak sedang berselancar di Teluk Maumbawa, Kec. Golewa Selatan, Ngada. Foto: Roman Rendusara

Eja, mari su kita bakar ikan dan minum di sini”

Pesan singkat itu mendarat pelan di layar handphone saya. Matahari sedikit miring ke arah barat. Saya masih duduk. Menyendiri saja di tepi muara, sebelah barat pelabuhan Maumbawa. Sebuah teluk yang indah, dengan ombak menggulung-gulung, disambut riang anak-anak memegang sebilah papan kayu, mereka bermanuver ria di atas ombak.

Saya memandang diam, seakan ikut merasakan adrenalin mereka yang terpacu. Kegembiraan kian lengkap dengan keseimbangan mereka berdiri dan meliuk-liuk di ata punggung ombak.

Eja, su di mana? Kami tunggu la.”

Pesan singkat menyusul lagi, meski pesan pertama saya belum sempat membalasnya. Saya biarkan saja. Saya lebih memilih untuk menginstrahatkan jari-jari. Saya berjeda memijit-mijit layar handphone itu. Pesan bisa dibalas sebentar, pikir saya.

Semilir angin pantai selatan terus memburu. Mencumbu-cumbu tubuh, menghapus lelah perjalanan sejauh seratus kilometer dari Ende itu. Semakin betah saya duduk di atas batu besar itu.

“Hei, pulang sudah”, teriak seorang perempuan paruh baya yang sedari tadi duduk memacing. Ia mengusir anak-anak itu. Menyuruh mereka berhenti bermain, segera pulang. Sebab mungkin, semestinya anak-anak itu sepulang sekolah harusnya ke rumah, atau mungkin tawa ria anak-anak itu mengusir ikan-ikan sehingga mata kailnya justru menggaet bekas pempers bayi.

Anak-anak terlanjur asyik menikmati setiap gulungan ombak. Teriakan perempuan paruh baya dari bibir pantai tak dihiraukan. Lalu diambilnya beberapa kerikil, melempar anak-anak itu. Tetap saja anak-anak tak menggubrisnya. Anak-anak itu, akhirnya berlari ke tepi pantai, ketika perempuan paruh baya itu akan menyita baju dan celana yang diletakkan di pohon samping saya duduk.

Anak-anak itu mengalah lalu pulang. Tinggallah perempuan paruh baya itu memancing dengan tenang.

Ine, su dapat berapa ekor?”, tanya saya, ingin membuka percakapan.

“Belum ada, anak. Itu gara-gara mereka ribut tadi tu. Ikan tidak mau datang,” katanya sambil mengeluarkan kata-kata yang tak pantas disebut.

“Biar kah, Ine. Siapa tahu mereka mau jadi atlet peselancar”

“Hmmm...”

Saya sadar, orang Flores umumnya belum familiar dengan olahraga menunggangi ombak ini. Bahkan tidak banyak atlet surfing terkenal dari NTT. Mungkin terlanjur risih dengan model berpakaian Alana Blanchard, atlet peselancar dunia sekaligus cover majalah surfing itu.

Perempuan paruh baya itu tidak lagi memancing. Umpan ikan yang sudah diiris-iris dibuang saja ke laut, dan mata kail dibiarkan tenggelam dengan tali senar. Ia berpaling, memandang saya dengan muka masam.

“Anak-anak itu mengganggu istrahat siang saya. Di sini rumah saya. Saya berhak mengusir siapa pun, termasuk kau, nak”, katanya. Lalu menghilang.

Saya mengambil batu sebesar biji kalereng, melemparkannya ke laut dan dalam hati mengujar kata pamit.

Saya meneruskan perjalanan, seturut perintah teman dalam pesan singkat. Menanjak naik lewat Desa Kezewea. Menikmati hamparan sawah yang masih menghijau di Golewa Selatan, menyusuri jalan aspal sepanjang pesisir pantai Boba, menembus jalan berbatu-batu, yang baru saja digusur.

Saya akhirnya tiba juga di Desa Wogowela, salah satu desa di wilayah pantai selatan Ngada. Teman-teman sudah menunggu dengan ikan bakar, pisang rebus dan minuman arak Boba (minuman beralkohol dari Kampung Boba, Ngada).

***

Pagi menjelang tiba, bias-bias merah ranum di ufuk timur. Saya tersadar sejenak tanpa sedikit pun takut, apalagi gelisah. Kuyakinkan diri, ini hanya mimpi saat lelah menyerang, lalu memaksa raga tidur pulas di sebuah pondok di Nangaroro, sisi kanan jalur Ende-Bajawa.

=======

Catatan: eja (sapaan akrab untuk sesama teman lelaki, Ende), Ine (sapaan untuk ibu, Ende)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun