"Cinta seorang ayah tak terbatas pada darah dan daging, tetapi pada jiwa yang tak kenal lelah mencintai," ucap Mitch Albom, penulis dan jurnalis asal Amerika Serikat. Dalam bukunya For One More Day, Albom menggambarkan bagaimana cinta orang tua tidak diukur dari kehadiran fisik semata, tetapi dari pengorbanan dan ketulusan yang tetap ada bahkan di tengah keterbatasan. Seperti seorang ayah yang kehilangan sebagian dari tubuhnya tetapi tetap menjadi sandaran bagi anaknya, cinta sejati tidak memudar karena keterbatasan, justru semakin kokoh sebagai bukti kasih yang tak tergantikan.Â
"Cinta seorang ayah tak terbatas pada darah dan daging, tetapi pada jiwa yang tak kenal lelah mencintai." – Mitch Albom. Seperti seorang ayah yang kehilangan sebagian dari tubuhnya tetapi tetap menjadi sandaran bagi anaknya, cinta sejati tidak memudar karena keterbatasan, justru semakin kokoh sebagai bukti kasih yang tak tergantikan.Â
Di antara reruntuhan dan kesunyian yang menyelimuti dunia mereka, ada satu hal yang tetap bergema lebih lantang dari jeritan luka, yaitu cinta yang tak tergoyahkan. Cinta itu tidak terukur oleh kesempurnaan fisik, tidak ditentukan oleh utuhnya tubuh, dan tidak dibatasi oleh kehilangan yang mendalam. Seorang ayah berdiri dengan satu kaki, ditopang oleh tongkat yang setia menemaninya, sementara anaknya melihatnya dengan penuh kekaguman dan rasa aman.
Bagi dunia, ia mungkin tak lagi utuh, tetapi bagi anaknya, ia adalah segalanya yang tak tergantikan. Ia bagaikan tiang yang tak akan pernah roboh, rumah yang selalu memberikan kehangatan, dan lengan yang akan selalu siap mengangkatnya ke langit tanpa ragu. Dalam dekapan ayahnya, anak itu tertawa dengan mata yang bersinar, tanpa sedikit pun keraguan di hatinya.
Ia bagaikan tiang yang tak akan pernah roboh, rumah yang selalu memberikan kehangatan, dan lengan yang akan selalu siap mengangkatnya ke langit tanpa ragu.
Tidak ada ketakutan yang mengganggu pikirannya, tidak ada kebingungan yang membuatnya ragu, dan tidak ada kehilangan yang membuatnya merasa sendiri. Yang ada hanyalah kepastian bahwa ia dicintai sepenuhnya, tanpa syarat, dan dengan ketulusan yang tak terbatas. Bukankah ini makna sejati dari kasih sayang yang sesungguhnya, yang melampaui batasan fisik dan keadaan?
Kasih sayang bukan sekadar memberikan yang terbaik, tetapi juga menerima tanpa syarat dalam segala bentuknya. Menerima luka tanpa menjadikannya penghalang, menerima kehilangan tanpa meratapinya, dan menerima takdir tanpa mengutuknya. Seorang ayah yang telah kehilangan sebagian dari dirinya tidak pernah kehilangan cintanya, justru cintanya semakin kuat, semakin dalam, dan semakin tak tergoyahkan.
Menerima kehilangan tanpa meratapinya. Seorang ayah yang telah kehilangan sebagian dari dirinya tidak pernah kehilangan cintanya. Justru, cintanya semakin kuat, semakin dalam, semakin tak tergoyahkan.
Di dunia yang sering kali mengukur nilai seseorang dari kesempurnaan, mereka berdua menciptakan dunia mereka sendiri yang penuh makna. Dunia itu bukan diukur dari kesempurnaan fisik, tetapi dari besarnya cinta yang mereka berikan satu sama lain tanpa batas. Dalam dunia itu, cinta adalah mata uang paling berharga, keterbatasan bukanlah penghalang, dan kasih sayang menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang arti hidup.
Anak itu tak peduli bahwa ayahnya berjalan dengan satu kaki, karena baginya, cinta ayahnya berjalan lebih jauh dari apa pun yang bisa dijangkau oleh dua kaki. Ayah itu pun tak peduli bahwa ia tak lagi memiliki kesempurnaan fisik, karena baginya, yang lebih penting adalah memberikan dunia kepada anaknya dengan segenap kekuatan yang tersisa. Meskipun dunia itu harus ia bangun dengan satu kaki dan sepasang tangan yang penuh kasih, ia tetap melakukannya dengan sepenuh hati.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!