Mohon tunggu...
ROBERTUS DARVINO KARNO
ROBERTUS DARVINO KARNO Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lahir pada bulan November, tanggal 15, 1993. Menyukai pemikiran Herakleitos tentang Pantha Rei. Bahwa sesuatu itu mengalir dan dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Panggilan Hidup Religius: Sebuah Seni Merayakan Kekaguman Ilahi

12 September 2021   10:53 Diperbarui: 31 Maret 2022   08:42 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                                                                                        Foto: Dokumen pribadi

Dalam sebuah moment sederhana, sekitar tahun 1998-1999 di sebuah lembah yang sangat dingin “lembah pagal” aku merasakan adanya decak kagum yang begitu mempesona dari kedalaman jiwaku. Sampai sekarang pun rasa kagum itu masih ada dan mungkin tak akan lekang oleh waktu. Banyak tahun telah kulewati. 

Berbagai lembah, gunung bukit, hutan dan sungai telah kususur. Tapi entah kenapa, rasa kagum itu tak kunjung hilang. Masih mengagumi panorama yang sama, tatkala aku menatapnya dengan tatapan polos “seorang bocah tengik lima tahunan”.

Waktu itu, dari balkon Gubuk tua nan megah “Gereja Kristus Raja Pagal” kedua bola mataku menyaksikan perjamuan Tuhan di meja altar. Perjamuan kudus itu dipimpin oleh seorang pastor tua dari Ordo Fransiskan yang berkarya di paroki kami. 

Pastor itu terkenal dengan kesederhanaannya yang bersahaja dan karakter jenaka yang unik. Gereja itu terletak di pusaran lembah Pagal yang dikelilingi oleh bukit-bukit dan hutan. Menurut cerita lisan orang-orang Pagal Gereja tua yang memiliki tiga buah candi menjulang itu adalah peninggalan Belanda saat masa kolonial dulu.

Selanjutnya, semakin ke sini, menyusuri petualangan hidup yang sudah seperempat abad aku jalani, semakin indah dan mempesonalah panorama ilahi yang kukagumi dulu saat aku masih bocah ingusan. Meski harus kuakui kenakalan masa remaja sempat membuat panorama kekaguman itu menjadi buram karena pesona duniawi. 

Tetapi toh ada suatu titik di mana pada akhirnya aku kembali menemukan moment saat bocah ingusan itu. Sedikit lebih pesimis saya mau mengatakan bahwa keputusan besar dalam hidupku  sudah terbentuk sejak saat itu. 

Bahwa suatu saat nanti saya harus mengenakan jubah coklat anggun seperti yang dikenakan oleh pastor itu. Bahwa suatu hari nanti saya harus berada di altar suci itu dan meryakan kekagumanku yang disebut dengan Perayaan Ekaristi.

Kini aku pun sedang berjuang menyempurnakan sambil terus merayakan rasa kagum itu di jalan hidup membiara sebagai misionaris Claretian. Teringat olehku sebuah cerita tentang seorang anak kecil yang berambisi mendaki sebuah gunung yang tinggi menjulang. Semua orang meragukannya. 

Karena fisik anak kecil itu sangat tidk memungkinkan untuk bisa menggapai puncak gunung itu. Tetapi dengan penuh pesimis dia mengatakan “jiwaku telah berada di atas puncak itu. 

Sekarang aku tinggal membawa tubuhku ke sana”. Kekecilan fisik saat masih bocah lima tahunan tidak membuatku cemas untuk terus merayakan kekaguman itu sepanjang hidupku. Hingga suatu saat nanti aku meneguk dan merasakan kenikmatan Darah suci Tuhan di meja altar itu.

Apa yang kuperjuangkan hari ini adalah sebuah mimpi yang telah terbersit saat masih bocah. Jiwaku telah berada “di sana” “ di meja altar itu” jauh ketika aku masih belum mengerti tentang dunia. Bahkan aku pun belum memahami jalan apa yang harus kutempuh untuk menyempurnakan rasa kagum itu. 

Aku hanya cemas jika rasa kagum itu akhirnya mati. Dan karena itu saya berkomitmen untuk selalu menjaga dan memeliharanya sekuat kemampuanku. Tetapi di dalam kemanusiaan yang lemah itu aku membiarkan Tuhan untuk menuntun jalanku. 

Aku sadari akan kerapuhan manusawi yang begitu kuat bahkan hampir mematikan decak kagum yang klasik itu. Tetapi aku bersyukur sejauh ini aku masih dalam rasa yang sama.

Aku menyadari bahwa tidak mudah melewati setiap proses yang harus dilalui. Dulu aku berpikir dengan cara yang sangat sederhana. Seolah-olah menjadi pastor itu hanya semata-mata berdoa, memimpin misa, merayakan sakramen pengakuan dan tinggal di pastoran saja. 

Tapi ternyata bukan Cuma itu. Menjadi imam adalah sebuah panggilan untuk mewartakan dan melanjutkan proyek Kerajaan Allah. Proyek kerajaan Allah itu adalah mewujudkan keadilan, mewartakan kebenaran, mewujudkan perdamaian, dan masih banyak lainnya. Itulah panggilan seorang imam. Konsep ini mungkin terlalu luas. 

Tapi dari setiap pengalaman yang saya lewati dalam hidup membiara ini, saya akhirnya memahami bahwa menjadi sorang imam tidak hanya berada di seputaran altar tetapi menjadi pengikut Tuhan berarti sebuah panggilan untuk melayani sesama dan merawat alam ciptaan.

Dari moment bocah lima tahunan itu maka terbentuklah sebuah narasi panggilan sebagai sebuah seni merayakan decak kagum. Perayaan kekaguman itu dimulai dengan masa persiapan selama dua tahun di rumah Formasi Pra-Novisiat Claret Kupang selama dua tahun yakni sebagai aspiran dan postulan.

Semakin dalam aku bertolak hingga menyelesaikan tahun novisiat 2014/2015 dan mengikrarkan kaul perdana pada tanggal 16 Juli 2015 di Gereja St. Vinsensiu a Paulo Benlutu. Kaul perdana adalah sebuah moment yang paling membahagiakn ketika aku menerima jubah suci sebagai pakaian religius yang masih melekat dalam raga yang fana ini hingga sekarang.

Petualangan itu pun terus berlanjut. Bocah yang dulu kagum dengan jubah coklat kini mengenakan jubah putih. Bocah yang dulu tidak mengerti akhirnya harus belajar filsafat di Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang sejak tahun 2015-2019. Tahun-tahun perkuliahan dilewati dengan baik hingga menyelesaikannya dengan baik pula. 

Langkahku terus merangkak. Menyusuri setiap jalan yang harus kutempuh. Berikutnya adalah menjalani masa Top di Paroki St. Hubertus Sok slama tahun 2019-2020. Aku semakin mengenal dan memahami panggilanku. Tentu semuanya itu membantuku untuk semakin mengenal cinta Tuhan dan memahami arti decak kagumku.

Rencana Tuhan memang akan indah pada waktunya. Ada orang yang mengatakan sukses itu bukan soal tepat waktu tetapi soal waktu yang tepat. 

Bagiku setiap kegagalan, setiap hal yang tertunda, setiap perencanaan yang justru tidak terwujud merupakan cara Tuhan untuk menguji kesetiaanku apakah aku masih memiliki decak kagum atau tidak.

Di sini pun aku sekarang bahagia. Memasuki budaya baru (budaya Batak), berkenalan dengan orang baru (orang Batak) beserta karakternya yang unik adalah hal yang menakjubkan meski terkadang susah. Saya memulai perkulihan teologi dengan semangat baru dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan berahmat ini agar di dalamnya saya semakin mengenal dan mencintai panggilanku.

Di akhir kata saya mau bersyukur atas “pesona Ekaristi Tuhan di dalam gubuk tua itu yang membuatku berdecak kagum” pada-Nya dan menjadi awal petualangan hidup membiaraku.

Dalam segala kerapuhan saya mau mengulang apa yang dikatakan oleh pemazmur “Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku” bocah tengik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun