Apa yang kuperjuangkan hari ini adalah sebuah mimpi yang telah terbersit saat masih bocah. Jiwaku telah berada “di sana” “ di meja altar itu” jauh ketika aku masih belum mengerti tentang dunia. Bahkan aku pun belum memahami jalan apa yang harus kutempuh untuk menyempurnakan rasa kagum itu.
Aku hanya cemas jika rasa kagum itu akhirnya mati. Dan karena itu saya berkomitmen untuk selalu menjaga dan memeliharanya sekuat kemampuanku. Tetapi di dalam kemanusiaan yang lemah itu aku membiarkan Tuhan untuk menuntun jalanku.
Aku sadari akan kerapuhan manusawi yang begitu kuat bahkan hampir mematikan decak kagum yang klasik itu. Tetapi aku bersyukur sejauh ini aku masih dalam rasa yang sama.
Aku menyadari bahwa tidak mudah melewati setiap proses yang harus dilalui. Dulu aku berpikir dengan cara yang sangat sederhana. Seolah-olah menjadi pastor itu hanya semata-mata berdoa, memimpin misa, merayakan sakramen pengakuan dan tinggal di pastoran saja.
Tapi ternyata bukan Cuma itu. Menjadi imam adalah sebuah panggilan untuk mewartakan dan melanjutkan proyek Kerajaan Allah. Proyek kerajaan Allah itu adalah mewujudkan keadilan, mewartakan kebenaran, mewujudkan perdamaian, dan masih banyak lainnya. Itulah panggilan seorang imam. Konsep ini mungkin terlalu luas.
Tapi dari setiap pengalaman yang saya lewati dalam hidup membiara ini, saya akhirnya memahami bahwa menjadi sorang imam tidak hanya berada di seputaran altar tetapi menjadi pengikut Tuhan berarti sebuah panggilan untuk melayani sesama dan merawat alam ciptaan.
Dari moment bocah lima tahunan itu maka terbentuklah sebuah narasi panggilan sebagai sebuah seni merayakan decak kagum. Perayaan kekaguman itu dimulai dengan masa persiapan selama dua tahun di rumah Formasi Pra-Novisiat Claret Kupang selama dua tahun yakni sebagai aspiran dan postulan.
Semakin dalam aku bertolak hingga menyelesaikan tahun novisiat 2014/2015 dan mengikrarkan kaul perdana pada tanggal 16 Juli 2015 di Gereja St. Vinsensiu a Paulo Benlutu. Kaul perdana adalah sebuah moment yang paling membahagiakn ketika aku menerima jubah suci sebagai pakaian religius yang masih melekat dalam raga yang fana ini hingga sekarang.
Petualangan itu pun terus berlanjut. Bocah yang dulu kagum dengan jubah coklat kini mengenakan jubah putih. Bocah yang dulu tidak mengerti akhirnya harus belajar filsafat di Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang sejak tahun 2015-2019. Tahun-tahun perkuliahan dilewati dengan baik hingga menyelesaikannya dengan baik pula.
Langkahku terus merangkak. Menyusuri setiap jalan yang harus kutempuh. Berikutnya adalah menjalani masa Top di Paroki St. Hubertus Sok slama tahun 2019-2020. Aku semakin mengenal dan memahami panggilanku. Tentu semuanya itu membantuku untuk semakin mengenal cinta Tuhan dan memahami arti decak kagumku.
Rencana Tuhan memang akan indah pada waktunya. Ada orang yang mengatakan sukses itu bukan soal tepat waktu tetapi soal waktu yang tepat.