Mohon tunggu...
Rizky Hadi
Rizky Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Anak manusia yang biasa saja.

Selalu senang menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anak Laki-laki yang Terlambat Pulang

23 Januari 2021   07:20 Diperbarui: 23 Januari 2021   09:53 1433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menunduk, memandangi lantai bus yang terlihat gelap. Rasa bersalah menggerayutiku, sudah lama aku tak pulang. Padahal setiap Ibu menelepon pasti menanyakan kapan aku pulang. Jawabanku selalu sama, "Sebentar lagi, Bu." Jawaban yang terlihat sederhana tapi akan menjadi rumit untuk Ibu. Dan di saat seperti inilah, rasa penyesalan itu muncul. Aku tak bisa mendampinginya ketika dia membutuhkan perhatian dari anak laki-lakinya.

Lengang. Gedung-gedung tinggi, pepohonan, pemukiman warga, semua berlalu begitu cepat. Tiba pada tempat tujuan.

Aku berjalan dengan langkah cepat melalui koridor rumah sakit. Aku hampiri Bi Imah yang duduk di kursi besi panjang, kursi itu nampak berkarat pada sisi kanannya. Bi Imah berdiri, menyalamiku. "Ibu di dalam, Mas. Tertidur setelah diberi perawatan."

Aku mengangguk datar, menuju kamar perawatan. Pintu kamar kubuka perlahan. Aroma khas obat-obatan tercium. Aku berjalan mendekati, duduk di sampingnya. Tak kusangka, wanita kuat yang dulu dengan sangat sabar membesarkanku kini terbaring lemah. Selang infus tertanam di tangan kanannya. Aku pandangi wajahnya yang mulai dijalari keriput, menyiratkan bekas perjuangan panjang di dunia. Aku genggam tangan Ibu, sedikit dingin. Bu, anak semata wayangmu telah kembali.

Aku menatap langit-langit kamar perawatan, menghela napas. Perasaan bersalah serasa menimpukku karena telah meninggalkannya selama ini.

***  


Masih lekat dalam ingatan ketika aku merengek berhari-hari hanya untuk meminta sepeda. Padahal keluarga kita waktu itu sedang dalam keadaan berduka. Dua minggu sebelumnya Bapak meninggalkan kami sekeluarga. Namun aku malah menuntut untuk segera dibelikan sepeda baru, hanya aku yang belum punya sepeda di antara teman-temanku yang lain. Sungguh anak yang tidak punya perasaan.

Umurku waktu itu baru menginjak lima tahun. Awalnya Ibu membujuk supaya aku bersabar. Tapi dengan segala keangkuhan, aku menodong dengan tangisan. Beberapa hari kemudian, setelah pulang dari sekolah, Ibu menyambut dengan senyum yang merekah. Menunjukkan sebuah barang yang menjadi keinginanku, sepeda. Ibu terlihat senang ketika kakiku berhasil mengayuh pedal sepeda itu pertama kali walaupun aku belum terlalu mahir mengendarainya. Tak berhenti sampai di situ, tak tega karena melihat anak laki-lakinya sering jatuh, Ibu dengan sangat telaten mengajariku, menuntun sampai aku bisa melanglang jauh. 

Aku bawa sepeda itu ke manapun kaki melangkah. Ke sekolah, bermain di lapangan, tak akan kubiarkan sepeda itu lepas. Bahkan wajahku sampai lebam karena sepeda pemberian darimu lecet akibat dipinjam oleh teman. Ibu merawat lukaku dengan kasih sayang, memintaku untuk tidak berkelahi lagi. Aku berusaha melindungi setiap barang hasil kerja kerasmu, Bu.

Beberapa bulan kemudian, ketika semua orang terlelap dalam tidur. Rembulan sedang bersinar dengan gagah di langit malam, saat itu juga seseorang yang tak dikenal masuk ke dalam rumah. Dan entah kebetulan atau tidak, yang diambil adalah sepeda kesayanganku. Aku marah waktu itu, mencari dan menantang maling yang berani masuk ke dalam rumah. Walaupun aku tahu, jika bertemu dengannya pasti aku yang babak belur.

Ibu mengelus kepalaku, menyuruh supaya ikhlas. Kau bilang waktu itu, "Ikhlas sangat rumit dilakukan jika dalam kesusahan." Aku yang egois tak mengerti dan tak ingin tahu tentang ikhlas. Yang aku butuhkan hanya sepedaku kembali, apapun caranya. Dan berselang beberapa hari kemudian, Ibu kembali membelikanku sepeda. Walaupun sepeda bekas, tapi itu cukup membuat kemarahanku terurai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun