Namun, banyak dari infrastruktur tersebut masih belum sepenuhnya berfungsi maksimal dalam mendukung mobilitas warga. Salah satu contohnya adalah kondisi halte yang tidak seragam---ada halte yang modern dan nyaman, namun ada pula yang sempit, kurang pencahayaan, minim tempat duduk, dan tidak memiliki atap pelindung dari cuaca. Hal ini menurunkan kenyamanan pengguna, terutama saat harus menunggu dalam waktu lama atau di cuaca ekstrem. Dari sisi aksesibilitas, banyak halte yang belum ramah bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, lansia, atau anak-anak. Akses tangga tanpa ramp, minimnya jalur pemandu bagi tunanetra, dan ketiadaan informasi visual/audio membuat sistem ini tidak inklusif. Padahal, transportasi publik yang baik seharusnya dapat digunakan oleh semua golongan masyarakat tanpa diskriminasi. Upaya perbaikan fasilitas halte agar lebih universal seharusnya menjadi prioritas, apalagi Yogyakarta dikenal sebagai kota yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan pendidikan (Fathoni et al., 2022).
Masalah lainnya adalah keberadaan halte yang sering kali tidak dilengkapi dengan informasi rute yang jelas. Beberapa halte hanya memiliki papan jadwal statis yang tidak diperbarui secara berkala, tanpa informasi digital seperti aplikasi pelacak bus atau pengumuman waktu kedatangan secara real-time. Ketidaktahuan akan estimasi waktu kedatangan bus membuat pengguna merasa cemas atau memilih alternatif transportasi lain yang lebih bisa diprediksi, seperti ojek online. Ini mencerminkan perlunya integrasi teknologi informasi dalam pengelolaan fasilitas Transjogja. Selain itu, persebaran rute yang kurang optimal juga membuat beberapa kawasan padat penduduk tidak terjangkau layanan Transjogja. Wilayah seperti Gamping, Mlati, atau sebagian perbatasan Kota Yogyakarta belum sepenuhnya mendapatkan akses rute langsung menuju pusat kota atau kampus-kampus besar. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di daerah ini tetap bergantung pada kendaraan pribadi atau angkutan informal. Padahal, perluasan jangkauan layanan ke wilayah penyangga justru akan mengurangi beban lalu lintas yang selama ini terkonsentrasi di pusat kota. Koordinasi antar koridor masih menjadi persoalan tersendiri. Tidak adanya sistem transit yang efisien menyebabkan pengguna harus menunggu lama saat ingin berganti bus untuk melanjutkan perjalanan. Misalnya, seseorang yang harus berpindah dari koridor 2 ke koridor 5, sering kali harus menunggu di halte sentral tanpa kepastian waktu kedatangan bus berikutnya. Ketiadaan petugas atau informasi yang memadai di halte transit membuat pengalaman pengguna menjadi tidak nyaman dan membingungkan, terutama bagi pendatang atau pengguna baru (Dawaman, 2023).
Dalam aspek jumlah armada, walaupun telah mencapai lebih dari 100 unit, ketersediaannya belum proporsional dengan jumlah koridor dan permintaan penumpang harian. Beberapa koridor bahkan hanya dilayani oleh dua atau tiga armada, yang tentu tidak cukup untuk melayani pengguna di jam-jam sibuk. Hal ini menyebabkan keterlambatan dan overkapasitas penumpang dalam satu bus, sehingga kenyamanan pun berkurang. Perlu dilakukan kajian redistribusi armada berdasarkan data kepadatan penumpang tiap rute dan waktu. Manajemen operasional armada juga perlu ditingkatkan. Belum adanya sistem dispatch berbasis data membuat jadwal keberangkatan dan kedatangan tidak selalu konsisten. Seharusnya, teknologi seperti automated vehicle location (AVL) bisa dimanfaatkan untuk mengatur dan memantau pergerakan bus secara real-time, serta menyesuaikan waktu keberangkatan berdasarkan kondisi lalu lintas dan jumlah penumpang. Penggunaan teknologi ini akan meningkatkan keandalan layanan dan kepuasan pelanggan. Dalam hal integrasi antar moda, Transjogja masih berjalan sendiri tanpa konektivitas yang kuat dengan moda lain seperti angkutan pedesaan, ojek daring, ataupun sepeda publik. Idealnya, sistem transportasi kota berbasis integrasi---di mana pengguna bisa berpindah dari satu moda ke moda lain dengan mulus, menggunakan satu sistem tiket dan satu platform informasi.Â
Kota-kota besar seperti Jakarta dengan JakLingko sudah mulai mengadopsi sistem ini, dan Yogyakarta seharusnya mengikuti arah kebijakan serupa untuk mendukung mobilitas warga yang lebih luas. Optimalisasi fasilitas Transjogja juga tidak lepas dari pentingnya aspek pemeliharaan. Banyak halte dan kendaraan yang tampak tidak terawat, mulai dari cat yang mengelupas, tempat duduk yang rusak, AC bus yang tidak dingin, hingga kebersihan yang tidak terjaga. Hal-hal kecil ini berdampak besar pada persepsi masyarakat terhadap kualitas layanan transportasi publik. Jika fasilitas terlihat tidak terurus, maka kepercayaan publik terhadap sistem secara keseluruhan juga menurun. Secara keseluruhan, meskipun Transjogja telah memiliki infrastruktur yang cukup dari sisi jumlah armada, halte, dan rute, namun belum cukup efektif dalam menjawab kebutuhan mobilitas masyarakat. Perlu adanya perencanaan yang lebih berbasis data, pelibatan masyarakat dalam desain rute dan fasilitas, serta investasi pada teknologi informasi dan manajemen sistem. Jika semua aspek tersebut diperbaiki secara terintegrasi, maka Transjogja bisa menjadi transportasi publik andalan dan kebanggaan Yogyakarta, yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga ramah pengguna (Fajrin & Rudy, 2023).
Analisis Keterkaitan Faktor dengan Optimalisasi Layanan
Pertama, pertumbuhan jumlah penduduk secara konsisten dari tahun ke tahun merupakan indikator utama yang menandakan meningkatnya permintaan akan mobilitas. Jumlah penduduk Kota Yogyakarta yang meningkat dari sekitar 438.000 jiwa pada tahun 2020 menjadi lebih dari 461.000 jiwa pada tahun 2024 mencerminkan dinamika urbanisasi yang pesat. Kenaikan ini berdampak langsung pada bertambahnya volume pergerakan manusia di dalam kota, baik untuk keperluan pendidikan, pekerjaan, maupun aktivitas sosial-ekonomi lainnya. Dalam konteks ini, transportasi publik seperti Transjogja seharusnya menjadi tulang punggung sistem mobilitas kota, karena hanya dengan moda transportasi yang efisien dan terjangkau, pergerakan penduduk dapat difasilitasi secara efektif tanpa memperparah beban jalan raya.
Kedua, peningkatan jumlah kendaraan pribadi dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan masyarakat untuk tetap bergantung pada mobil dan sepeda motor sebagai moda utama. Hal ini diperkuat oleh data yang menunjukkan bahwa pada tahun 2022 saja, terdapat lebih dari 3,2 juta kendaraan pribadi yang beroperasi, dengan dominasi sepeda motor. Fenomena ini tidak hanya menandakan kurangnya kepercayaan terhadap transportasi publik, tetapi juga memperlihatkan bahwa sistem transportasi umum belum mampu menyediakan layanan yang lebih kompetitif dari sisi waktu, kenyamanan, maupun aksesibilitas. Oleh karena itu, untuk mendorong pergeseran moda dari kendaraan pribadi ke transportasi publik, Transjogja perlu dioptimalkan sebagai layanan yang tidak hanya layak pakai, tetapi juga unggul secara kualitas.
Ketiga, tren jumlah pengguna Transjogja dalam lima tahun terakhir memperlihatkan pola yang fluktuatif namun secara keseluruhan menunjukkan potensi yang sangat besar. Penurunan drastis akibat pandemi COVID-19 di tahun 2020--2021 menjadi titik balik yang diikuti dengan lonjakan signifikan hingga hampir 9 juta penumpang pada tahun 2024. Data ini mencerminkan bahwa minat dan kepercayaan masyarakat terhadap layanan Transjogja dapat dipulihkan --- bahkan ditingkatkan --- apabila sistem pelayanan dioptimalkan. Artinya, optimalisasi bukan sekadar kebutuhan teknis, tetapi merupakan strategi kunci dalam menjadikan Transjogja sebagai solusi nyata terhadap masalah kemacetan, dengan menarik sebanyak mungkin pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke moda publik.
Keempat, meskipun jaringan rute Transjogja menunjukkan cakupan yang luas dan berupaya melayani berbagai zona penting di Kota Yogyakarta, data menunjukkan bahwa jumlah armada sejak 2018 hingga 2022 tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sebanyak 128 unit. Ketimpangan antara luasnya jangkauan rute dengan jumlah armada yang tersedia berpotensi menyebabkan ketidakefisienan dalam operasional, seperti waktu tunggu yang lama dan frekuensi layanan yang rendah. Hal ini tentu akan memengaruhi persepsi dan kepuasan pengguna. Dalam konteks optimalisasi, peningkatan jumlah armada menjadi langkah mendasar agar setiap rute dapat dilayani secara konsisten dan layak, sehingga sistem transportasi dapat berfungsi maksimal dan menjadi pilihan rasional bagi masyarakat luas.
Secara keseluruhan, keempat faktor ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling berinteraksi dalam memengaruhi efektivitas dan daya tarik layanan Transjogja. Ketika jumlah penduduk meningkat dan kendaraan pribadi bertambah tanpa diimbangi oleh penguatan kapasitas transportasi publik, maka kemacetan akan semakin sulit dihindari. Namun sebaliknya, jika lonjakan pengguna Transjogja dimanfaatkan sebagai momentum untuk memperbaiki layanan secara struktural --- baik dari segi kuantitas armada, efektivitas rute, maupun kualitas pelayanan --- maka potensi pergeseran moda menuju transportasi publik akan semakin besar, dan pada akhirnya dapat menjadi solusi utama dalam menurunkan tingkat kemacetan di Kota Yogyakarta secara berkelanjutan.
PenutupÂ