Fasilitas umum seperti taman, trotoar, jalur sepeda, dan fasilitas disabilitas menjadi sangat penting untuk menciptakan kota yang inklusif dan nyaman untuk semua. Sayangnya, pada beberapa titik di Kota Yogyakarta, peningkatan pembangunan pemukiman dan komersial tidak selalu diiringi dengan penyediaan ruang publik yang memadai, sehingga masyarakat kehilangan akses terhadap lingkungan kota yang sehat dan manusiawi. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah daerah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat dalam menyusun strategi pembangunan kota yang berbasis kependudukan. Pendekatan ini harus mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan penduduk, distribusi spasial pemukiman, serta pola mobilitas masyarakat. Pembangunan sistem transportasi publik seperti Transjogja harus diselaraskan dengan arah pertumbuhan penduduk, agar layanan yang disediakan benar-benar menjawab kebutuhan riil masyarakat dan tidak hanya menjadi proyek simbolis. Dengan memahami bahwa dinamika jumlah penduduk memiliki dampak jangka panjang terhadap perencanaan kota, maka kebijakan yang diambil harus bersifat adaptif dan berkelanjutan. Penyesuaian rute transportasi publik, pembangunan koridor-koridor baru, penambahan armada, serta integrasi layanan antar moda harus dilakukan berdasarkan kajian demografis yang valid. Hanya dengan pendekatan berbasis data dan kebutuhan, maka peningkatan jumlah penduduk dapat dikelola secara bijak, dan layanan publik seperti Transjogja dapat berkembang menjadi solusi mobilitas yang inklusif dan efisien (Dawaman, 2023).
2. Jumlah Pengguna Transportasi Pribadi
Secara umum, terjadi peningkatan jumlah kendaraan pribadi setiap tahunnya, yang mengindikasikan meningkatnya ketergantungan masyarakat terhadap moda transportasi non-publik dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Pada tahun 2020, jumlah kendaraan pribadi tercatat sebanyak 3.020.175 unit. Jumlah ini meningkat menjadi 3.125.720 unit pada tahun 2021, dan kembali naik menjadi 3.274.030 unit pada tahun 2022. Jika ditinjau berdasarkan jenis kendaraan, sepeda motor mendominasi sebagai alat transportasi pribadi yang paling banyak digunakan. Pada tahun 2020, terdapat lebih dari 2,5 juta sepeda motor yang beroperasi, dan jumlah ini terus meningkat hingga mencapai lebih dari 2,7 juta unit pada tahun 2022. Mobil penumpang juga menunjukkan tren kenaikan, dari 385.269 unit pada tahun 2020 menjadi 415.368 unit pada tahun 2022. Di sisi lain, jumlah bus mengalami peningkatan yang sangat kecil, dengan kenaikan hanya sekitar 143 unit dalam tiga tahun. Sedangkan jumlah truk mengalami lonjakan signifikan pada tahun 2022, dari 82.475 unit pada tahun 2021 menjadi 124.595 unit pada tahun 2022. Peningkatan jumlah kendaraan pribadi ini memiliki dampak langsung terhadap kondisi lalu lintas di Kota Yogyakarta. Dengan terus bertambahnya jumlah kendaraan yang beroperasi di jalan raya, tingkat kepadatan lalu lintas pun semakin tinggi, terutama di kawasan perkotaan yang padat aktivitas. Hal ini memperparah kondisi kemacetan yang sudah terjadi, terutama pada jam-jam sibuk dan di ruas jalan utama. Masyarakat yang semakin mengandalkan kendaraan pribadi menandakan adanya permasalahan pada sistem transportasi umum, baik dari segi keterjangkauan, kenyamanan, maupun efektivitas waktu tempuh.
Kondisi ini menegaskan pentingnya peran Transjogja sebagai transportasi publik yang diharapkan dapat menjadi solusi terhadap permasalahan lalu lintas yang kompleks. Namun, tren data ini juga menunjukkan bahwa Transjogja belum mampu menjadi pilihan utama masyarakat dalam bermobilitas. Ketidakmampuan sistem transportasi umum dalam menyerap kebutuhan mobilitas harian menyebabkan masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi, meskipun berdampak negatif terhadap efisiensi transportasi dan kualitas lingkungan. Dengan demikian, data pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi ini harus dibaca sebagai sinyal bahwa sistem transportasi publik membutuhkan pembenahan yang menyeluruh. Optimalisasi layanan Transjogja menjadi urgensi strategis yang tidak dapat diabaikan. Perbaikan yang dapat dilakukan mencakup perluasan cakupan rute, penambahan armada, peningkatan kenyamanan, serta integrasi layanan dengan moda transportasi lainnya. Jika Transjogja mampu menawarkan layanan yang kompetitif dan memenuhi ekspektasi masyarakat, maka potensi pergeseran dari kendaraan pribadi ke transportasi umum akan lebih besar, yang pada akhirnya dapat mengurangi beban lalu lintas dan menciptakan sistem mobilitas yang lebih berkelanjutan di Kota Yogyakarta. Situasi ini menciptakan lingkaran masalah: semakin banyak orang memilih kendaraan pribadi karena transportasi publik tidak optimal, dan semakin parah kondisi lalu lintas akibat banyaknya kendaraan pribadi, maka semakin rendah pula ketertarikan masyarakat untuk beralih ke moda publik (Fajrin & Rudy, 2023).
Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan intervensi kebijakan yang tegas dan terstruktur. Pemerintah kota perlu mempertimbangkan strategi push and pull, yaitu menekan penggunaan kendaraan pribadi (melalui pembatasan parkir, pajak kendaraan, atau pembentukan zona rendah emisi) dan menarik minat masyarakat terhadap transportasi publik (melalui peningkatan kualitas layanan, tarif bersubsidi, serta integrasi antar moda). Tanpa perubahan signifikan dalam kebijakan transportasi dan pola pikir masyarakat, maka target peningkatan penggunaan Transjogja hanya akan menjadi wacana tanpa implementasi nyata. Selain sepeda motor, penggunaan mobil pribadi juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan, terutama di kalangan keluarga dan pekerja menengah ke atas. Meskipun tidak sepadat sepeda motor, keberadaan mobil pribadi memberikan dampak yang lebih besar terhadap kapasitas jalan karena ukurannya yang lebih besar dan kebutuhan ruang parkir yang lebih luas. Kondisi ini menyebabkan keterbatasan ruang jalan semakin terasa, terutama di kawasan pusat kota dan jalan-jalan utama yang padat aktivitas ekonomi dan sosial. Selain itu, mobil pribadi cenderung digunakan untuk perjalanan jarak pendek yang seharusnya bisa ditempuh dengan moda transportasi publik, sehingga efisiensi penggunaan ruang jalan menjadi sangat rendah. Faktor budaya dan status sosial juga turut memengaruhi tingginya penggunaan kendaraan pribadi. Kepemilikan kendaraan sering kali dianggap sebagai simbol kemandirian dan prestise, terutama bagi generasi muda dan pekerja urban. Banyak orang yang lebih memilih membeli sepeda motor atau mobil bahkan ketika tinggal di daerah dengan akses transportasi publik yang relatif baik. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mengalihkan masyarakat ke transportasi publik tidak hanya berkaitan dengan peningkatan fasilitas, tetapi juga menyentuh aspek sosialisasi dan pembentukan persepsi masyarakat terhadap moda transportasi umum sebagai pilihan yang rasional dan modern (Prasetyo et al., 2024).
Pendidikan masyarakat tentang dampak negatif kendaraan pribadi terhadap lingkungan dan kesehatan masih terbatas. Padahal, penggunaan kendaraan bermotor berkontribusi besar terhadap peningkatan polusi udara yang dapat menyebabkan berbagai penyakit pernapasan, terutama di kawasan padat penduduk. Selain itu, emisi karbon yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor juga mempercepat perubahan iklim global. Sayangnya, isu-isu ini belum menjadi pertimbangan utama dalam keputusan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi, karena pertimbangan kenyamanan dan kepraktisan sering kali lebih dominan. Kebijakan transportasi yang belum terintegrasi secara menyeluruh juga menjadi penyebab sulitnya menurunkan angka penggunaan kendaraan pribadi. Misalnya, belum adanya sistem tiket terpadu antar moda (bus, sepeda sewa, ojek daring), atau kurangnya insentif bagi pengguna transportasi publik. Beberapa kota besar di dunia telah berhasil mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan menerapkan sistem transportasi yang terintegrasi dan berbasis teknologi informasi, sehingga masyarakat merasa lebih dimudahkan dan dihargai sebagai pengguna transportasi publik. Yogyakarta dapat belajar dari praktik-praktik tersebut untuk mengembangkan sistem yang lebih inklusif dan canggih. Ketersediaan dan pengelolaan lahan parkir juga merupakan isu penting yang harus diatasi. Saat ini, banyak kendaraan pribadi yang diparkir di badan jalan atau trotoar, yang mengganggu fungsi pedestrian dan mempersempit ruang lalu lintas. Penataan parkir yang buruk ini tidak hanya merusak estetika kota, tetapi juga menurunkan kenyamanan dan keamanan pengguna jalan lainnya. Pemerintah kota perlu menegakkan regulasi parkir yang ketat, termasuk memberlakukan tarif parkir progresif dan menyediakan fasilitas parkir terpusat di kawasan strategis, serta menghubungkannya dengan akses transportasi publik yang memadai (Amara & Navitas, 2024).
Dari perspektif ekonomi, tingginya penggunaan kendaraan pribadi juga menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang tinggi. Waktu yang hilang akibat kemacetan, biaya operasional kendaraan, serta beban subsidi BBM yang harus ditanggung negara menjadi bukti nyata dari ketidakefisienan sistem transportasi yang berbasis kendaraan pribadi. Biaya-biaya ini seharusnya dapat ditekan apabila masyarakat lebih memilih moda transportasi massal yang lebih hemat energi dan ruang. Dengan demikian, peralihan ke transportasi publik seperti Transjogja menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar pilihan alternatif. Kebutuhan akan perubahan ini juga harus dilihat dari perspektif generasi muda dan pelajar, yang merupakan kelompok terbesar pengguna jalan di Yogyakarta. Banyak dari mereka yang sejak dini terbiasa menggunakan sepeda motor karena dianggap sebagai kebutuhan dasar untuk mobilitas ke sekolah atau kampus. Tanpa pendekatan edukatif dan fasilitas transportasi publik yang menarik bagi generasi ini, maka kecenderungan penggunaan kendaraan pribadi akan terus berlanjut dalam jangka panjang, menciptakan pola mobilitas yang tidak berkelanjutan. Dengan demikian, tingginya angka penggunaan kendaraan pribadi di Yogyakarta merupakan hasil dari kombinasi antara keterbatasan layanan transportasi publik, budaya mobilitas masyarakat, serta kurangnya kebijakan pembatasan kendaraan yang efektif. Untuk mengubah kondisi ini, diperlukan pendekatan sistemik yang mencakup aspek kebijakan, infrastruktur, edukasi, dan perubahan budaya. Penguatan transportasi publik harus menjadi bagian dari strategi besar pembangunan kota yang ramah lingkungan, efisien, dan inklusif bagi semua kalangan. Dalam jangka panjang, pengurangan penggunaan kendaraan pribadi bukan hanya berdampak pada pengurangan kemacetan, tetapi juga menciptakan kota yang lebih manusiawi. Ruang jalan dapat dikembalikan untuk fungsi sosial seperti jalur sepeda, taman kota, dan pedestrian yang nyaman. Dengan memperbaiki layanan Transjogja serta memberikan insentif bagi masyarakat yang beralih ke transportasi publik, Yogyakarta memiliki peluang besar untuk menjadi contoh kota menengah yang sukses mengelola transportasi berkelanjutan di Indonesia (Intan et al., 2024).
3. Tren Jumlah Pengguna Bus Transjogja
Pada tahun 2018, tercatat sebanyak 5.880.610 penumpang menggunakan layanan Transjogja, yang kemudian mengalami penurunan pada tahun 2019 menjadi 5.282.737 penumpang. Penurunan tersebut masih tergolong wajar dan tidak terlalu drastis, namun perubahan besar terjadi pada tahun-tahun berikutnya, terutama saat pandemi COVID-19 melanda. Pada tahun 2020, jumlah penumpang menurun tajam menjadi 2.776.667 orang. Penurunan ini berlanjut di tahun 2021 dengan angka yang lebih rendah, yaitu hanya 1.508.450 penumpang. Penurunan selama dua tahun berturut-turut ini dapat dikaitkan langsung dengan pembatasan mobilitas masyarakat dan kebijakan penanganan pandemi, termasuk pembelajaran daring, pembatasan kapasitas angkutan umum, serta kekhawatiran masyarakat terhadap risiko penularan di ruang publik. Namun demikian, sejak tahun 2022 terlihat adanya pemulihan yang cukup signifikan. Jumlah penumpang Transjogja meningkat menjadi 3.057.863 orang, dan terus melonjak di tahun 2023 dengan jumlah pengguna mencapai 5.046.099 orang. Tren positif ini menunjukkan adanya perubahan perilaku masyarakat pascapandemi, yang mulai kembali menggunakan transportasi publik sebagai bagian dari mobilitas harian mereka. Bahkan pada tahun 2024, jumlah penumpang melonjak drastis hingga mencapai 8.984.984 orang, angka yang tidak hanya melampaui data sebelum pandemi, tetapi juga menjadi yang tertinggi selama periode tujuh tahun terakhir.