Peningkatan jumlah pengguna Transjogja ini memiliki relevansi kuat dengan tema penelitian terkait optimalisasi layanan transportasi publik dalam upaya mengurangi kemacetan di Kota Yogyakarta. Tren tersebut menunjukkan bahwa Transjogja memiliki potensi besar untuk menyerap pengguna dari moda transportasi pribadi apabila mampu menyediakan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kenaikan signifikan dalam jumlah penumpang juga dapat dimaknai sebagai respon positif terhadap perbaikan layanan, seperti perluasan rute, peningkatan jumlah armada, digitalisasi sistem tiket, maupun peningkatan kualitas pelayanan. Meski demikian, keberhasilan ini harus dilihat secara kritis dan tidak semata-mata sebagai pencapaian akhir. Kenaikan jumlah penumpang perlu diikuti oleh kebijakan transportasi yang lebih sistematis agar lonjakan pengguna tidak menimbulkan kepadatan baru di dalam sistem Transjogja sendiri. Selain itu, perlu dipastikan bahwa peningkatan ini bukan bersifat sementara, melainkan merupakan hasil dari transformasi layanan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan operator transportasi publik perlu memanfaatkan momentum ini untuk membangun ekosistem transportasi yang terintegrasi, efisien, dan berkelanjutan. Dalam konteks pengurangan kemacetan, data ini menegaskan bahwa peningkatan jumlah pengguna Transjogja secara langsung berkontribusi terhadap pengurangan penggunaan kendaraan pribadi, sebagaimana yang tergambar dalam data sebelumnya. Artinya, semakin banyak masyarakat yang menggunakan Transjogja, maka semakin besar pula peluang untuk menekan pertumbuhan volume lalu lintas di jalan raya. Dengan demikian, strategi optimalisasi layanan Transjogja tidak hanya penting sebagai upaya perbaikan layanan publik, tetapi juga sebagai instrumen utama dalam menciptakan sistem mobilitas perkotaan yang lebih teratur, efisien, dan ramah lingkungan di Kota Yogyakarta.
Salah satu penyebab stagnasi ini adalah belum adanya terobosan besar dalam inovasi layanan, seperti integrasi digital, perluasan rute, hingga peningkatan kenyamanan pengguna. Selain itu, tidak adanya sistem insentif bagi pengguna (misalnya potongan harga untuk pelajar, pekerja, atau pengguna rutin), juga menjadi faktor penghambat peningkatan pengguna. Di sisi lain, persepsi masyarakat terhadap Transjogja juga perlu menjadi perhatian. Banyak warga yang menganggap Transjogja kurang efisien dalam hal waktu, baik karena waktu tunggu yang lama di halte, maupun rute yang berputar-putar dan tidak langsung menuju tujuan. Jika dibandingkan dengan kendaraan pribadi yang lebih cepat dan fleksibel, maka masyarakat masih menempatkan Transjogja sebagai pilihan alternatif, bukan utama. Dengan demikian, tren pemulihan jumlah pengguna Transjogja pasca-pandemi memang menunjukkan arah positif, namun belum cukup kuat untuk merepresentasikan keberhasilan sistem transportasi publik. Untuk mempercepat peningkatan jumlah pengguna, diperlukan transformasi layanan secara menyeluruh, termasuk inovasi digital (e-ticketing, tracking real-time), peningkatan ketepatan waktu, serta edukasi publik untuk mendorong budaya menggunakan transportasi umum. Di awal peluncurannya, Transjogja mendapat sambutan hangat dari masyarakat karena dianggap sebagai pembaruan sistem transportasi publik yang modern dan tertib. Model pelayanan menggunakan sistem halte, tarif flat yang terjangkau, dan armada bus berpendingin udara menjadi daya tarik tersendiri. Transjogja pun sempat menjadi ikon perubahan transportasi perkotaan di Yogyakarta, bahkan dijadikan model bagi beberapa daerah lain di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, tren peningkatan jumlah penumpang tidak selalu menunjukkan konsistensi, karena berbagai tantangan yang muncul baik dari sisi internal layanan maupun eksternal seperti perubahan pola mobilitas masyarakat (Adi & Widyastuti, 2020).
Pandemi COVID-19 memberikan pukulan keras terhadap layanan Transjogja. Jumlah penumpang turun drastis karena pembatasan sosial berskala besar, pembelajaran dan pekerjaan dilakukan dari rumah, serta kekhawatiran masyarakat akan risiko penularan di ruang tertutup seperti bus. Beberapa koridor dihentikan sementara, armada dikurangi, dan frekuensi perjalanan diturunkan untuk menekan biaya operasional. Situasi ini menyebabkan banyak masyarakat beralih sementara ke kendaraan pribadi, dan sayangnya, setelah pandemi mereda, sebagian besar dari mereka tidak kembali menggunakan Transjogja. Meski terjadi peningkatan dari 4 juta menjadi 6 juta penumpang pada tahun 2023, angka ini masih belum sebanding dengan potensi jumlah pengguna transportasi publik di Yogyakarta. Kota ini tidak hanya dihuni oleh 430.000 penduduk tetap, tetapi juga menjadi pusat aktivitas harian bagi ratusan ribu penduduk dari wilayah sekitarnya. Dengan perhitungan kasar mobilitas harian yang mencapai ratusan ribu perjalanan per hari, capaian 6 juta penumpang dalam setahun berarti rata-rata hanya sekitar 16.000 penumpang per hari. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih belum menjadikan Transjogja sebagai moda transportasi utama. Kurangnya inovasi layanan menjadi salah satu faktor stagnasi pertumbuhan pengguna. Dalam era digital saat ini, sebagian besar layanan publik telah terintegrasi secara digital dan memberikan kenyamanan lebih bagi pengguna. Namun, Transjogja masih tertinggal dalam penerapan teknologi seperti pembayaran non-tunai berbasis aplikasi, pelacakan bus secara real-time, dan integrasi sistem antar moda. Hal ini menurunkan daya tarik layanan, terutama bagi kalangan muda yang sangat mengandalkan teknologi dalam kehidupan sehari-hari (Yoga et al., 2023).
Sistem tarif Transjogja yang flat memang menjadi keunggulan dalam hal keterjangkauan, namun belum didesain untuk menarik kelompok pengguna rutin seperti pelajar dan pekerja. Di banyak kota, sistem tarif langganan atau insentif berbasis penggunaan telah berhasil meningkatkan loyalitas pengguna transportasi publik. Transjogja bisa mengadopsi sistem serupa dengan menyediakan paket perjalanan harian, mingguan, atau bulanan yang lebih ekonomis dan praktis, sehingga pengguna memiliki motivasi untuk berpindah dari kendaraan pribadi ke moda publik. Persepsi masyarakat terhadap kualitas dan efisiensi layanan juga memegang peranan penting dalam memengaruhi tren jumlah pengguna. Waktu tunggu yang lama di halte, jalur yang memutar, dan ketidakpastian jadwal menjadi alasan utama mengapa masyarakat ragu untuk menggunakan Transjogja. Terutama bagi pekerja atau mahasiswa yang memiliki jadwal padat, keterlambatan sedikit saja dapat berdampak signifikan. Maka dari itu, peningkatan keandalan jadwal dan efisiensi rute menjadi salah satu prioritas utama dalam meningkatkan kepuasan dan kepercayaan pengguna. Kurangnya kampanye promosi dan edukasi publik mengenai manfaat menggunakan transportasi publik juga menjadi hambatan tersendiri. Banyak masyarakat yang belum mengetahui potensi keuntungan menggunakan Transjogja dalam jangka panjang, baik dari segi ekonomi, lingkungan, maupun kesehatan. Sosialisasi yang intensif, terutama di sekolah, kampus, dan komunitas masyarakat urban, dapat membantu membangun budaya menggunakan transportasi publik sebagai gaya hidup yang positif dan bertanggung jawab (Fatimah et al., 2024).
Transjogja sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi tulang punggung sistem transportasi publik Yogyakarta, mengingat skalanya yang telah mencakup sebagian besar kota dan wilayah penyangga. Namun, potensi ini belum sepenuhnya dimaksimalkan karena keterbatasan pada aspek pengelolaan, perencanaan rute, dan integrasi layanan. Jika Transjogja dapat bertransformasi menjadi sistem yang responsif, adaptif, dan berbasis teknologi, maka peluang untuk meningkatkan jumlah pengguna secara signifikan sangat terbuka. Pemerintah daerah, operator Transjogja, dan pihak-pihak terkait perlu duduk bersama untuk merumuskan langkah strategis jangka menengah dan panjang. Investasi tidak hanya harus difokuskan pada jumlah armada atau pembangunan halte baru, tetapi juga pada pengembangan sistem informasi layanan, pelatihan petugas, serta peningkatan kenyamanan penumpang. Perlu juga dilakukan survei dan riset rutin terhadap kepuasan pengguna agar evaluasi layanan lebih akurat dan berbasis data. Dengan pendekatan yang menyeluruh dan berbasis kebutuhan masyarakat, tren jumlah pengguna Transjogja bukan hanya bisa dipulihkan ke angka sebelum pandemi, tetapi juga ditingkatkan melebihi capaian sebelumnya. Transformasi layanan yang menyeluruh akan membawa dampak positif tidak hanya bagi sistem transportasi, tetapi juga bagi kualitas hidup dan pembangunan berkelanjutan Kota Yogyakarta secara keseluruhan (Astuti et al., 2024).
4. Fasilitas yang Tersedia: Jumlah Armada, Halte, dan Rute
Berdasarkan data yang disajikan mengenai fasilitas layanan Transjogja, khususnya jumlah armada dari tahun 2018 hingga 2022, diketahui bahwa jumlah unit kendaraan yang dioperasikan tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sebanyak 128 armada setiap tahunnya. Sementara itu, peta jaringan rute Transjogja yang tertera menunjukkan cakupan layanan yang cukup luas, menjangkau berbagai titik strategis di wilayah Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Hal ini menandakan bahwa dari sisi perencanaan rute dan penempatan halte, telah dilakukan perluasan dan diversifikasi jalur untuk menghubungkan berbagai kawasan permukiman, pendidikan, perdagangan, serta tujuan wisata. Namun, stagnasi jumlah armada selama lima tahun terakhir memunculkan pertanyaan penting mengenai kesesuaian antara kapasitas layanan dan permintaan aktual mobilitas masyarakat. Ketika data sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan signifikan jumlah pengguna Transjogja, khususnya pascapandemi (dari sekitar 1,5 juta pengguna di tahun 2021 menjadi hampir 9 juta pengguna di tahun 2024), maka tidak bertambahnya jumlah armada berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan antara supply dan demand. Dalam konteks ini, peningkatan jumlah penumpang yang tidak diimbangi dengan penambahan armada dapat berdampak pada menurunnya kualitas layanan, seperti meningkatnya waktu tunggu, kepadatan dalam kendaraan, dan keterlambatan jadwal operasional.
Lebih lanjut, peta rute yang ditampilkan menggambarkan sistem jaringan Transjogja yang kompleks dan terintegrasi, dengan banyaknya jalur yang saling bersilangan dan melayani titik-titik transit penting di kota. Hal ini mencerminkan adanya upaya untuk membangun konektivitas lintas wilayah dan mempermudah aksesibilitas masyarakat dari berbagai titik asal ke tujuan. Namun, efektivitas jaringan tersebut sangat bergantung pada ketersediaan armada yang memadai untuk menjalankan operasional di tiap koridor secara konsisten dan efisien. Dari sudut pandang penelitian yang mengangkat tema Identifikasi Faktor-Faktor yang Mendukung Optimalisasi Layanan Transjogja untuk Mengurangi Kemacetan di Kota Yogyakarta, data ini menggarisbawahi pentingnya kebijakan yang tidak hanya fokus pada perluasan rute, tetapi juga pada penguatan kapasitas armada. Tanpa penambahan jumlah kendaraan yang proporsional dengan peningkatan rute dan jumlah pengguna, maka potensi optimalisasi sistem transportasi publik akan mengalami hambatan. Di sisi lain, jika armada ditambah dan distribusi layanan diperbaiki berdasarkan pola permintaan aktual di tiap jalur, maka sistem Transjogja dapat secara signifikan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi.
Selain itu, waktu tunggu di halte juga masih menjadi keluhan yang dominan. Pengguna sering kali harus menunggu lebih dari 15--20 menit untuk mendapatkan bus, terutama di luar jam sibuk atau di koridor yang tidak terlalu ramai. Ketidakteraturan jadwal dan ketidakpastian kedatangan bus membuat masyarakat yang memiliki keterbatasan waktu lebih memilih kendaraan pribadi atau ojek daring. Permasalahan lain yang menonjol adalah rute yang tidak langsung. Banyak rute Transjogja dirancang memutar atau terlalu panjang sehingga waktu tempuh menjadi tidak efisien. Sebagai contoh, untuk menempuh perjalanan dari titik A ke titik B yang sebenarnya hanya berjarak 5 km, penumpang bisa menghabiskan waktu lebih dari 30--40 menit karena rutenya harus melintasi beberapa halte dan simpul terlebih dahulu. Ini menjadi hambatan besar bagi masyarakat yang mengutamakan kecepatan. Ketidakterpaduan antar koridor juga menjadi catatan penting. Idealnya, sistem transportasi publik seperti Transjogja mampu menyediakan sistem integrasi antarkoridor dengan waktu tunggu minimal dan pengaturan jadwal yang baik. Namun pada kenyataannya, penumpang yang harus berpindah koridor sering kali dihadapkan pada waktu tunggu yang lama dan tidak adanya fasilitas perpindahan yang nyaman (seperti halte transit khusus atau jalur cepat). Masalah-masalah tersebut menunjukkan bahwa peningkatan jumlah armada dan halte belum diiringi dengan optimalisasi dari segi manajemen operasional (Margaretha et al., 2020).
Banyak aspek teknis yang perlu diperbaiki, seperti perencanaan rute yang lebih strategis dan berbasis data pergerakan masyarakat, peningkatan ketepatan waktu kedatangan bus melalui sistem pelacakan real-time dan manajemen armada yang efisien, pembangunan halte yang ramah bagi pejalan kaki serta lebih dekat ke area padat aktivitas, serta integrasi layanan antarkoridor dan moda transportasi lain seperti sepeda sewa, angkutan desa, dan ojek daring. Tanpa adanya perbaikan pada aspek manajerial dan perencanaan berbasis kebutuhan pengguna, maka peningkatan fisik seperti penambahan armada dan halte hanya akan menjadi sekadar angka statistik yang tidak memberikan dampak signifikan terhadap kepuasan maupun peningkatan jumlah penumpang Transjogja. Oleh karena itu, optimalisasi fasilitas harus mengedepankan pendekatan kualitas layanan, bukan semata-mata berfokus pada kuantitas fisik. Fasilitas Transjogja yang ada saat ini memang menunjukkan komitmen pemerintah dalam menyediakan moda transportasi publik yang memadai.Â