Mohon tunggu...
Riza Hariati
Riza Hariati Mohon Tunggu... Konsultan - Information addict

SAYA GOLPUT!!!! Tulisan yang saya upload akan selalu saya edit ulang atau hapus tergantung mood. Jadi like dan comment at your own risk. You've been warned!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Belajar Bahasa, Belajar Budaya

15 Juni 2019   15:56 Diperbarui: 15 Juni 2019   22:23 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu saya membaca sebuah posting twitter yang menyebutkan seseorang yang ingin menulis artikel mengenai sebuah buku yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dari bahasa Inggris, tapi saat menuliskannya dia merasa lebih nyaman menggunakan Bahasa Belanda atau Perancis.

Ini menarik sekali untuk saya yang sangat hobi belajar bahasa. Saya pernah belajar bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Perancis dan kelak ingin sekali belajar Bahasa arab. Pernah belajar tidak berarti saya lancar loh! Satu-satunya bahasa asing yang saya lancar gunakan hanya Inggris, dan Jepang malah sudah lupa sama sekali. Kecuali Nandattebaiyooo!! hehehe..

Saya tidak tahu persis artikel apa yang akan ditulis. Mau tanya-tanya terlalu jauh takut dikira naksir. Jadi, saya hanya bisa menduga-duga motivasinya. Dia sendiri mengira itu disebabkan adanya unsur inferiority complex alias minder. Sedangkan saya menduga karena ada unsur serapan budaya tertentu yang hanya bisa disalurkan melalui bahasa tersebut.

Kaitan kaidah Bahasa dan Budaya

Dalam kaidah bahasa Indonesia, kata kerja tidak terpengaruh oleh waktu. Saya bisa mengatakan : 'Dia pergi' dan pendengarnya tinggal menebak-nebak sendiri, kapan orang yang dimaksud pergi. Kecuali kalau saya memberikan keterangan waktu sebagai tambahan. Sedangkan dalam bahasa Inggris, saya harus menyesuaikan kata kerja dengan waktu, menjadi : 'She goes' sehingga dalam satu kalimat ini kita bisa menebak bahwa ini terjadi sekarang atau 'She went', yang berarti kejadiannya sudah berlalu. 

Ini bisa jadi disebabkan bahwa di Nusantara, waktu bukanlah suatu hal yang terlalu penting dalam suatu kegiatan. Jadi saat bahasa dibentuk, hampir semua bahasa daerah dari sabang sampai merauke, kata kerja tidak berubah terhadap waktu.

Kita bisa melihat pengaruhnya pada budaya. Waktu menjadi hal yang lebih penting bagi mereka yang menggunakan bahasa Inggris, dibandingkan dengan mereka pengguna bahasa Indonesia saja. Pengaruhnya bisa bervariasi : bisa dilihat pada pemanfaatan waktu yang lebih efisien, bisa dilihat dari kemampuan yang lebih dalam memahami konsep waktu, kepedulian terhadap waktu, dan sebagainya.

Cara penulisan suatu bahasa juga berpengaruh pada budaya. Dalam penelitiannya, Lena Boroditsky seorang profesor peneliti yang turut membangun Theory of Linguistic Relativity melakukan suatu eksperimen. Dia meminta beberapa orang untuk mengurutkan lima lembar foto.  Lima foto adalah foto kakeknya, sejak dia lahir, kanak-kanak, dewasa sampai menjadi tua. 

Orang-orang yang menggunakan bahasa dengan tulisan huruf latin, seperti bahasa inggris. Kebanyakan otomatis mengurutkan foto itu dari kiri ke kanan. Sedangkan orang-orang yang berbahasa Hebrew dan arab akan mengurutkan dari kanan ke kiri. Diputar kearah manapun posisi tubuhnya, mereka akan melakukan hal yang sama.

Tapi saat eksperimen ini dilakukan kepada suku Kook, suatu suku Aborigin yang tidak bisa baca tulis dan tidak mengenali konsep posisi (kanan kiri depan belakang) dalam bahasanya, maka saat posisi tubuh mereka menghadap ke utara, maka mereka akan menyusun dari kanan ke kiri. Saat menghadap selatan, mereka akan meyusun dari kiri ke kanan. Saat menghadap ke timur, mereka akan menyusun kearah tubuh mereka menghadap. Ternyata konsep arah yang mereka gunakan adalah berdasarkan arah mata angin, karena dalam bahasa mereka, begitulah mereka menentukan keterangan tempat, bukan 'Saya pergi ke depan atau ke samping' melainkan menggunakan 'Saya pergi ke Utara atau Timur'.

Jadi dari contoh diatas kita bisa melihat, bahasa akan membantu kita mengekspresikan budaya kita dan sebaliknya budayalah yang akan membentuk suatu bahasa.

Budaya baru memaksa kita mempelajari Bahasa baru

Kemarin ada ribut-ribut mengenai semakin banyak orang menggunakan istilah-istilah dalam bahasa arab dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mengatakan, bahwa orang-orang ini sudah terlalu banyak terpengaruh budaya Arab dan mengabaikan budaya nasional.  Sebaliknya juga banyak mereka yang protes, saat ada yang menggunakan bahasa Hokkien atau Mandarin dalam pembicaraan ditempat umum, termasuk saya (hehehe..maaf)

Pengaruh budaya memang memaksa kita menyerap bahasa. Dan seiring dengan kemajuan teknologi informasi, maka semakin deras pengaruh budaya kedalam negeri lewat sosial media, acara televisi, pengajian, musik dan juga lewat media mainstream.

Belum lagi budaya yang dibawa oleh mereka yang datang dari luar negeri. Seperti turis, pengajar, pendakwah dari luar negeri. Atau mantan TKI serta mahasiswa Indonesia lulusan luar negeri.

Penggunaan bahasa arab di Indonesia, lebih mirip kepada penggunaan bahasa Inggris di Indonesia. Tidak terlalu banyak orang-orang yang sungguh-sungguh fasih bahasa Inggris, tapi seringkali kota kasa bahasa inggris digunakan seiring dengan masuknya pengaruh budaya negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris, seperti Amerika, Inggris, Australia dan Kanada ke dalam negeri.

Kita terbiasa mendengar bro, sis, bye, hai, thanks, dimana-mana. Bahkan Cawapres 2019 Sandiuno dengan inggris logat jakselnya menjadi hiburan tersendiri saat kampanye kemarin.

Tidak ada yang memprotes asimilasi bahasa inggris ini, karena budaya yang berkaitan bisa diterima oleh hampir seluruh lapisan masyarakat yang terpapar. Sedangkan bahasa Arab atau Mandarin, diprotes karena tidak bisa terserap kedalam semua lapisan. Sehingga banyak yang khawatir akan menimbulkan perpecahan.

Untuk bahasa arab, orang non muslim maupun Islam Abangan tidak terpapar didalamnya. Sebaliknya bahasa Mandarin atau Hokkien, sama tidak bisa diterima kalangan tertentu. Herannya bahasa Korea, bisa diterima semua orang. Seperti istilah Oppa, Saranghae, Aegyo, dll. Kecuali saya. Karena saya benci K Pop dan Drakor (becandaaaaa... tolong jangan dihujat! heheheh).

Pengaruh bahasa baru tidak akan jadi masalah selama kita bisa menjaga bahasa Indonesia sebagai bahasa inti kita. Tidak ada orang menjadi teroris karena menggunakan kata oppa atau akhi dalam bahasa sehari-hari. Apalagi penggunaan bahasa seperti ini hanyalah dipermukaan saja, tidak dimenegerti secara mendalam.

Menyerap budaya baru saat belajar bahasa baru

Ditahun 1980-an, pelajaran bahasa Inggris adalah satu momok yang menakutkan untuk hampir semua anak. Mereka mati-matian menghafal grammar, menghafal kosa kata, bahkan berhasil mendapatkan nilai lumayan sekedar untuk naik kelas. Tapi tetap saja tidak bisa melakukan percakapan dalam bahasa Inggris. Bahkan guru-guru jaman dahulu agak sulit memahami buku-buku bahasa Inggris yang terlalu kompleks.

Ditahun 80-an akses kita kepada budaya negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sangat terbatas. Di zaman dulu belum ada banyak pilihan media seperti sekarang, semua serba terbatas. Sehingga sulit untuk mengembangkan kemampuan bahasa Inggris.

Ini karena bahasa yang baru dipelajari, haruslah digunakan didalam konteks yang nyata, barulah bisa dipahami. Dan konteks nyata dimana bahasa itu dipakai, umumnya berkaitan dengan budaya dimana bahasa itu digunakan. Karenanya sangat sulit mempelajari suatu bahasa, tanpa mau memahami dan menyerap budayanya.

Penggunaan bahasa bisa dengan cara pasif : Membaca buku-buku, menonton tv, mendengarkan musik. Lalu meningkat menjadi aktif, dengan menyanyikan lagu-lagu tersebut dengan aksen yang tepat, mencoba bercakap-cakap dengan native speaker. Disaat bersamaan, kita menyerap budayanya.

Ditahap awal, biasanya kita akan menyerap budaya yang sederhana dan terlihat jelas, misalnya cara mereka berpakaian, cara bertegur sapa, cara bernyanyi. Tetapi semakin fasih kita dalam suatu bahasa, semakin banyak kosakata kita, semakin sempurna aksen kita, maka semakin kuat pengaruh budaya baru tersebut mempengaruhi kita. 

Media yang kita pilih saat kita belajar juga akan sangat menentukan budaya apa yang kelak akan mempengaruhi kita. Mereka yang belajar bahasa melalui media-media yang serius, seperti buku-buku yang 'berat', diskusi-diskusi ilmiah, akan berbeda budayanya dengan orang-orang yang belajar melalui majalah-majalah populer, film-film holywood. Meski belum tentu jadi lebih baik. Tetapi memberikam pengaruh budaya dan sudut pandang yang berbeda, meski bahasa yang dipelajari sama.

Saat kita sudah mencapai level native speaker, maka kita seolah mendapatkan kepribadian baru. Dimana kita punya kepribadian, nilai, rasa humor, yang bisa jadi sama sekali berbeda dari sebelumnya. Dan kita bisa menaik turunkan 'volume' kepribadian ini sesuai kebutuhan kita, menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana kita berada. Seolah ada tombol switch. Dengan demikian kita bisa mengambil keuntungan dari kebaikan dua budaya.

Tentu akan jadi masalah jika budaya baru tersebut berbenturan dengan budaya dimana kita berada. Misalnya, mereka yang menyerap budaya Amerika lewat belajar bahasa Inggris, biasanya akan lebih terang-terangan mendebat orang yang usianya jauh lebih tua tanpa tedeng aling-aling. Sementara, kita orang Indonesia kebanyakan akan tersinggung jika didebat oleh anak bau kencur kemarin sore. Lalu tanpa melihat argumentasinya akan langsung menuding : Tidak sopan.

Jadi seolah akan ada pertarungan dua budaya dalam dirinya.

Tetapi jika mampu menyeimbangkan pertentangan dua budaya dalam diri kita. Mampu menerapkan pada situasi dan kondisi yang tepat, maka kita bisa menjadi warga negara tidak resmi dari negara lain. Diterima baik dalam lingkungan negara dimana bahasa yang kita pelajari tersebut digunakan (selama mereka bukan negara diskriminatif ya) dan memperkaya budaya yang sudah kita miliki.  

Jadi tidak perlu takut kepada mereka yang belajar banyak bahasa asing, anggap mereka sebagai aset yang bisa menghubungkan dan mempromosikan Indonesia kedunia luar. Juga menjadikan mereka sebagai sumber informasi untuk kita yang tidak mengerti bahasa asing tersebut.

Jadi kembali kepada penulis artikel diatas, saya kira dia lebih menyukai menuliskan artikelnya dalam bahasa Belanda, karena dia merasa topik yang akan dituliskannya adalah sesuatu yang didukung oleh budaya yang diserap olehnya saat belajar bahasa Belanda, mungkin juga karena kedekatan struktur bahasa dengan Bahasa Indonesia. Atau memang karena dia lancar sekali berbahasa belanda dan tidak mau dibilang mencontek kalau menulis dalam bahasa Indonesia.  (mungkiiiiin!!)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun