Di awal kuliah, banyak mahasiswa membayangkan dunia perkuliahan sebagai tempat yang penuh kebebasan, nongkrong di kafe sambil nugas, dan hidup santai tanpa seragam. Tapi kenyataannya? Tugas datang tiada henti, dosen silih berganti kasih deadline, dan kadang rasanya kayak hidup cuma buat ngerjain tugas. Frustasi? Sudah pasti. Bahkan nggak jarang, mental pun ikut terguncang.
Frustasi karena tugas kuliah bukan hal sepele. Banyak mahasiswa yang terjebak dalam tekanan akademik tanpa tahu cara mengelola stres. Tugas yang datang bersamaan, materi yang sulit dipahami, dan ekspektasi dari lingkungan kadang bikin kepala rasanya mau meledak. Belum lagi kalau harus sambil kerja paruh waktu atau ikut organisasi.
Ada juga yang merasa bersalah kalau istirahat, padahal tubuh dan otak udah minta tolong. Akhirnya, banyak yang jadi begadang tiap malam, makan nggak teratur, bahkan sampai burn out. Ironisnya, di tengah tekanan itu, masih banyak yang bilang "ya namanya juga mahasiswa, wajar capek." Tapi benarkah frustasi ini harus dianggap wajar dan dibiarkan?
Mahasiswa bukan robot. Mereka butuh ruang buat bernapas, bukan cuma tugas dan deadline. Frustasi yang dirasa bukan tanda lemah, tapi sinyal bahwa sistem kadang terlalu menekan. Sudah waktunya kampus, dosen, dan lingkungan sadar bahwa kesehatan mental itu sama pentingnya dengan nilai IPK. Karena kuliah bukan soal siapa yang paling banyak tugas, tapi siapa yang bisa tetap waras sampai akhir semester.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI