Mohon tunggu...
Riska Amelia
Riska Amelia Mohon Tunggu... Freelancer - Absurd

Seorang yang suka dengan sastra dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siapakah Wanita, Siapakah Pria?

20 Februari 2022   19:32 Diperbarui: 20 Februari 2022   19:36 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Inilah kenapa aku tidak menyukaimu. Kau keras kepala. Hakikatmu sebagai seorang wanita menjadikanmu harus menjadi seorang yang lemah lembut, berwibawa, dan jauh dari kata pembangkang. Bukan menjadi seorang yang berhati dingin dan keras kepala.”

“Kenapa memang bila begini?”

“Tolol! Asal kau tahu, kau tidak ada bedanya dengan para pria. Kau ini seorang wanita yang masih diragukan. Apa kau tak sadar kenapa sampai sekarang para lelaki enggan berhadapan denganmu meski sebentar? Karena kau ini menakutkan. Di mata mereka, kau terlihat berbahaya dan harus dihindari.”

Aku pun hanya tertawa saat mendengar hal itu dari mulutnya yang selalu merah seperti cairan darah yang baru muncrat ke permukaan dari tubuh seekor kerbau yang dihunjam samurai Kenshin. 

Apa aku telah kehilangan ingatan sehingga makhluk sepertinya harus terus mengingatkanku? Bagaimana bisa seekor makhluk sepertinya terus-terusan mencibir dan mempertanyakan identitasku di depanku sendiri? Kenapa ia terus-terusan mengingatkan bahwa aku seorang wanita, padahal—tanpa diberitahu pun aku sudah mengetahuinya? Apa karena aku selalu memegang teguh pendirianku? Apa karena aku pernah mempertegas kecintaanku pada pengetahuan? Atau, apa karena aku pernah memojokkan seorang kepala desa karena ia memang pantas diberi sanksi? 

Bahkan, meski sebagaimana pun miripnya tulisanku dengan seorang lelaki paling maskulin, sebagaimana pun miripnya kepribadianku dengan seorang pejantan alfa, seberapa pun besarnya kebebasan yang kupunya, aku masihlah tetap seorang wanita. Kecuali, jika aku nista dan menginginkan menjadi lain. Hakikatku sendirilah yang membuatku percaya diri mengatakan hal ini.

Tapi, tidak. Aku sama sekali tidak ingin ribut di pagi yang masih buta tadi, yang masih dipenuhi malaikat-malaikat yang sedang berdoa. Aku pun tidak ingin mengajaknya untuk ribut sekarang dan menjelaskan siapa yang paling benar.

Aku pun tidak akan mengingatkannya lagi pada seorang lelaki yang tempo hari berpidato di hadapan publik dengan suaranya yang gagah, namun bergincu dan melakukan lesbi saat berada di belakang tembok. 

Dan, jika ia kembali mencibir di keesokan hari, maka aku akan tidak akan lagi menggubris. Kecuali, jika ia melewati batas. Langsung akan kupatahkan rahangnya yang kokoh itu agar tidak lagi mencibir. 

Sungguh, seharusnya makhluk itu merasa malu karena telah memiliki kotoran di hatinya. Kedua sayapnya yang mengkilap, dan aurora kuning yang melingkar berkelip-kelip di atas kepalanya—yang baru ia dapatkan setelah hidup selama 173 tahun, hanya menjadi pertunjukan nihil berkat kacamatanya.

“Aku akan pulang. Esok lusa, kuharap tidak menjumpaimu lagi yang sedang menulis hal-hal konyol lagi.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun