Mohon tunggu...
Riska Amelia
Riska Amelia Mohon Tunggu... Freelancer - Absurd

Seorang yang suka dengan sastra dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siapakah Wanita, Siapakah Pria?

20 Februari 2022   19:32 Diperbarui: 20 Februari 2022   19:36 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagian 1: Siapakah Aku

Pagi-pagi sekali saat aku menulis catatan kecil seperti yang sudah dilakukan seorang lelaki ketika berada di ngarai paling dalam yang rahasia, yang kini sudah menjadi kitab-kitab para manusia yang kekurangan nutrisi, seekor makhluk yang terbang menertawakan dan mengejekku. 

Dia seekor makhluk yang gemar membaca kitab roman sepanjang hidupnya. Keseriusannya terhadap perasaan yang aku pikir tak memiliki nama itu sangat besar, sehingga memandangku dan catatanku sebagai himpunan aksara yang  kelak akan menjadi kitab usang di gudang-gudang terkunci. Sebetulnya ini bukan yang pertama. 

Setelah ke sekian kalinya ia kembali mencibir apa yang menjadi keaslianku dengan berkata, “Tulisanmu bukan sebuah tulisan. Kau hanya menulis hal-hal konyol yang tidak perlu ditulis. Buang saja! Hal-hal seperti itu sama sekali tidak menghibur dan memuakkan. Kau tahu, seharusnya kau tidak membuang-buang waktu dengan melakukan kegiatan tak bernilai seperti ini. Kau, apa kau yakin seorang wanita? Aku tidak bermaksud meragukan, kau tahu, hanya saja—aku telah sedikit goyah saat membaca tulisanmu. Dan, aku pikir inilah kenapa aku menyuruhmu untuk tidak menulis hal-hal seperti itu lagi. Kau hanya membingungkan para lelaki dan jiwamu sendiri.”

“Aku berharap kau tidak meminta sesuatu.”

“Seharusnya kau tidak berharap jika kau tidak ingin diminta. Tulislah sesuatu yang lebih indah dan romantis, sebagaimana kau telah ada. Kau adalah seorang wanita. Berlakulah sebagaimana mestinya.”


“Jadi, menurutmu selama ini aku tidak berlaku sebagaimana aku tercipta?”

“Aku melihatnya. Seharusnya kau tidak menyalakan api semangat di dalam dadamu. Sejak kau mengenal Thanos, kau menjadi sangat bebas dan menyalahi nasibmu yang sebagai seorang wanita.”

“Menyalahi bagaimana, menurutmu?”

“Berhentilah menjadi liar dan pembangkang.”

“Inilah maksud dari semua ucapanmu di pagi ini?”

“Inilah kenapa aku tidak menyukaimu. Kau keras kepala. Hakikatmu sebagai seorang wanita menjadikanmu harus menjadi seorang yang lemah lembut, berwibawa, dan jauh dari kata pembangkang. Bukan menjadi seorang yang berhati dingin dan keras kepala.”

“Kenapa memang bila begini?”

“Tolol! Asal kau tahu, kau tidak ada bedanya dengan para pria. Kau ini seorang wanita yang masih diragukan. Apa kau tak sadar kenapa sampai sekarang para lelaki enggan berhadapan denganmu meski sebentar? Karena kau ini menakutkan. Di mata mereka, kau terlihat berbahaya dan harus dihindari.”

Aku pun hanya tertawa saat mendengar hal itu dari mulutnya yang selalu merah seperti cairan darah yang baru muncrat ke permukaan dari tubuh seekor kerbau yang dihunjam samurai Kenshin. 

Apa aku telah kehilangan ingatan sehingga makhluk sepertinya harus terus mengingatkanku? Bagaimana bisa seekor makhluk sepertinya terus-terusan mencibir dan mempertanyakan identitasku di depanku sendiri? Kenapa ia terus-terusan mengingatkan bahwa aku seorang wanita, padahal—tanpa diberitahu pun aku sudah mengetahuinya? Apa karena aku selalu memegang teguh pendirianku? Apa karena aku pernah mempertegas kecintaanku pada pengetahuan? Atau, apa karena aku pernah memojokkan seorang kepala desa karena ia memang pantas diberi sanksi? 

Bahkan, meski sebagaimana pun miripnya tulisanku dengan seorang lelaki paling maskulin, sebagaimana pun miripnya kepribadianku dengan seorang pejantan alfa, seberapa pun besarnya kebebasan yang kupunya, aku masihlah tetap seorang wanita. Kecuali, jika aku nista dan menginginkan menjadi lain. Hakikatku sendirilah yang membuatku percaya diri mengatakan hal ini.

Tapi, tidak. Aku sama sekali tidak ingin ribut di pagi yang masih buta tadi, yang masih dipenuhi malaikat-malaikat yang sedang berdoa. Aku pun tidak ingin mengajaknya untuk ribut sekarang dan menjelaskan siapa yang paling benar.

Aku pun tidak akan mengingatkannya lagi pada seorang lelaki yang tempo hari berpidato di hadapan publik dengan suaranya yang gagah, namun bergincu dan melakukan lesbi saat berada di belakang tembok. 

Dan, jika ia kembali mencibir di keesokan hari, maka aku akan tidak akan lagi menggubris. Kecuali, jika ia melewati batas. Langsung akan kupatahkan rahangnya yang kokoh itu agar tidak lagi mencibir. 

Sungguh, seharusnya makhluk itu merasa malu karena telah memiliki kotoran di hatinya. Kedua sayapnya yang mengkilap, dan aurora kuning yang melingkar berkelip-kelip di atas kepalanya—yang baru ia dapatkan setelah hidup selama 173 tahun, hanya menjadi pertunjukan nihil berkat kacamatanya.

“Aku akan pulang. Esok lusa, kuharap tidak menjumpaimu lagi yang sedang menulis hal-hal konyol lagi.”

“Senang mendengarnya, meski aku juga kecewa.”

Cerpen ini sebenarnya masih ada lanjutannya, tapi yang posting hanya bagian 1 saja karena bagian lain masih belum rampung. 

Jangan lupa untuk memberikan masukan berupa komentarnya agar penulis dapat melakukan evaluasi. 🙏

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun