Mohon tunggu...
Ripan
Ripan Mohon Tunggu... Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia

Menulis adalah caraku mencari benang merah menuju jati diriku—tempat aku bisa pulang tanpa ragu, tanpa topeng. Di balik setiap kata, ada jejak pencarian, perlawanan, ketenangan, dan ruang sunyi yang memulangkan aku pada siapa sebenarnya aku. 📖✍️

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kurir Langit dan Buku yang Tak Tahu Banjir

30 Juni 2025   02:14 Diperbarui: 30 Juni 2025   22:53 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lebih dari dihitung. Kalian diingat."

Seorang guru membuka surat dari pengirim: sebuah pesan dari guru pusat. Isinya sederhana. Tapi seperti sihir: "Untuk anak-anak Batu Penjuru. Teruslah belajar, meski dunia sedang basah. Karena ilmu tidak bisa hanyut, jika kamu mau menyimpannya di dalam kepala."

Arwan tidak tinggal lama. Ia duduk sebentar. Mengeringkan kaus kaki. Lalu bangkit untuk pulang. Tapi sebelum pergi, seorang bocah lelaki memberinya selembar kertas. "Kalau bisa, kirim ini juga."

Arwan membacanya. Tulisan tangan kecil itu menulis:
"Untuk saya di masa depan. Jangan lupa, kamu pernah hampir tidak sekolah karena banjir. Tapi ada seseorang yang tetap datang."

Arwan tersenyum. Senyum yang tidak besar. Tapi dalam. Seperti seseorang yang tahu, bahwa hidupnya takkan masuk berita, tapi akan dikenang oleh satu orang yang cukup untuk membuat dunia jadi tempat yang lebih baik.

Di perjalanan pulang, langit sedikit membuka. Rintik mereda. Burung-burung keluar dari persembunyian. Air masih tinggi, tapi tidak mengamuk. Di rakit yang sama, Arwan kembali. Tapi bukan dengan dus, melainkan dengan sesuatu yang jauh lebih ringan dan lebih berat: rasa percaya dari satu desa yang tidak menyerah.

Dan barangkali, suatu hari nanti, bocah lelaki yang menulis surat itu tumbuh menjadi seorang peneliti iklim. Anak perempuan yang menggambar matahari menjadi arsitek bangunan tahan banjir. Yang membaca komik sains menjadi ahli energi terbarukan. Dan mereka semua, satu per satu, membentuk fondasi baru bagi Indonesia yang belum lahir---Indonesia yang ditopang oleh kenangan paling basah, tapi semangat yang paling kering dari menyerah.

Di balik jaket JNE yang kuyup, ada semangat yang tidak bisa dijemur. Bukan tentang kecepatan. Tapi tentang keberanian untuk tetap bergerak, ketika yang lain memilih diam.

Karena kadang, dunia baru tidak lahir dari konferensi. Ia lahir dari dus kecil, yang diantar dengan rakit dan keteguhan.

Dan hari itu, di Batu Penjuru, kita semua berutang pada satu paket pendidikan...
dan satu orang yang tidak menyerah pada air.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun