Pak Husni diam, lalu tersenyum kecil.
"Konyol kamu... Tapi mungkin dunia perlu orang konyol biar nggak tenggelam sendirian."
Ia menunjuk ke rakit.
"Masih bisa jalan. Pelan, tapi cukup."
Dengan bantuan Pak Husni, dus buku dibungkus ulang. Kali ini pakai spanduk caleg yang tersisa dari pemilu lalu. Warna merah mencolok, wajah senyum plastik, dan janji yang sudah basi. Tapi hari itu, spanduk itu menyelamatkan buku. Ironi yang cantik.
Arwan mendayung. Dengan satu tangan. Yang satu lagi memegang dus itu erat-erat. Air menyentuh pahanya. Angin menyapu rambutnya yang tipis. Ia tidak mengeluh. Ia hanya bicara pelan, bukan pada siapa-siapa, tapi mungkin pada sungai itu sendiri.
"Kalau kau ingin menenggelamkanku, tidak apa. Tapi jangan dus ini. Karena ini lebih ringan dari tubuhku, tapi lebih berat dari hidupku."
Tidak ada jawaban. Tapi arus mereda. Dan setelah hampir dua jam, rakitnya menyentuh tanah di halaman rumah kepala desa, yang kini berubah jadi sekolah darurat.
Anak-anak menggambar sesuatu yang tak mereka jelaskan, tapi mereka rasakan. Mungkin rumah mereka. Mungkin kapal penyelamat. Mungkin matahari yang tidak ada di langit hari itu. Guru-guru terlihat lelah tapi tetap tersenyum. Mereka tidak tahu siapa yang datang. Tapi ketika Arwan mengangkat dus itu seperti peti harta karun, seluruh ruangan seolah menarik napas.
"Maaf telat. Tapi masih utuh," katanya.
Tak ada tepuk tangan. Tapi ada sesuatu yang lebih dari itu. Mata yang berkaca-kaca. Jari-jari kecil yang meraba buku seolah ingin memastikan itu nyata. Satu anak bertanya, dengan suara yang nyaris tidak terdengar, "Ini... ini benar dari kota?"
"Benar," jawab Arwan.
"Berarti kita masih dihitung?"