Bayangkan Anda baru saja mendapat promosi jabatan. Orang-orang di sekitar mengucapkan selamat, atasan percaya Anda mampu memimpin tim baru, dan keluarga merasa bangga. Dari luar, semuanya terlihat sempurna. Tapi di dalam hati, muncul suara kecil yang mengganggu: "Mungkin mereka salah pilih. Sebenarnya aku tidak sepintar itu. Kalau nanti ketahuan aku tidak sekompeten yang mereka kira, bagaimana?"
Kalau pernah mengalami perasaan seperti ini, mungkin Anda sedang berhadapan dengan sesuatu yang disebut impostor syndrome. Sebuah fenomena yang membuat seseorang merasa tidak pantas atas pencapaian yang dimiliki, seolah keberhasilan hanyalah hasil kebetulan atau keberuntungan belaka.
Fenomena ini tidak cuma menghantui profesional muda yang baru meniti karier. Bahkan orang dengan segudang pengalaman, prestasi besar, dan pengakuan publik bisa saja masih diliputi rasa takut dianggap "palsu".
Apa Itu Impostor Syndrome?
Secara sederhana, impostor syndrome adalah kondisi ketika seseorang meragukan kemampuan dirinya sendiri, meskipun ada bukti nyata yang mendukung kalau ia kompeten. Orang dengan kondisi ini merasa suksesnya cuma kebetulan, bukan hasil usaha atau kapasitas pribadi.
Misalnya, seorang mahasiswa yang mendapat beasiswa merasa beasiswanya cuma karena "jurinya sedang baik hati", bukan karena ia benar-benar pintar. Seorang profesional yang sukses menutup proyek besar menganggap itu karena "timnya kebetulan solid", bukan karena kepemimpinan dan kerja kerasnya.
Dalam psikologi, fenomena ini pertama kali diperkenalkan pada akhir 1970-an oleh Pauline Clance dan Suzanne Imes. Mereka menemukan kalau banyak perempuan berprestasi merasa keberhasilan mereka bukan karena kemampuan, tetapi cuma faktor eksternal. Tapi seiring waktu, penelitian menunjukkan kalau impostor syndrome bisa dialami siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, di berbagai usia dan profesi.
Dari Mana Asalnya Perasaan Ini?
Pertanyaan menariknya: mengapa seseorang bisa merasa seperti penipu di tengah pencapaiannya sendiri? Ada beberapa penyebab yang sering muncul.
Pertama, latar belakang keluarga dan pola asuh. Anak yang tumbuh dalam keluarga dengan standar tinggi, atau sering dibandingkan dengan saudara atau orang lain, bisa tumbuh dengan perasaan tidak pernah cukup. Apa pun yang dicapai terasa kurang.
Kedua, budaya kerja yang penuh tekanan. Lingkungan kerja yang sangat kompetitif kadang membuat seseorang merasa harus selalu sempurna. Kalau ada kesalahan kecil, langsung merasa gagal.
Ketiga, cara berpikir perfeksionis. Orang dengan standar diri yang terlalu tinggi akan selalu menemukan alasan untuk meremehkan pencapaiannya. Kalau berhasil, dianggap "itu hal kecil saja". Kalau gagal sedikit, dianggap bukti ketidakmampuan.