Mohon tunggu...
Ripan
Ripan Mohon Tunggu... Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia

Menulis adalah caraku mencari benang merah menuju jati diriku—tempat aku bisa pulang tanpa ragu, tanpa topeng. Di balik setiap kata, ada jejak pencarian, perlawanan, ketenangan, dan ruang sunyi yang memulangkan aku pada siapa sebenarnya aku. 📖✍️

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kurir Langit dan Buku yang Tak Tahu Banjir

30 Juni 2025   02:14 Diperbarui: 30 Juni 2025   22:53 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah mungkin sebuah paket kecil mengubah dunia yang sedang tenggelam? Apakah harapan bisa tetap dikirim, meski perahu karet tak tersedia, dan langit tak kunjung memberi ampun?

Di Kalimantan, di sebuah desa yang letaknya nyaris luput dari garis lurus antara pusat dan pinggiran, seorang kurir JNE bernama Arwan memilih untuk menjawab pertanyaan itu bukan dengan kata-kata, tapi dengan mendayung. Hari itu langit tidak sekadar mendung. Ia mengancam. Sungai meluap, jalan-jalan lenyap, dan waktu tampak seperti berhenti bekerja. Tapi Arwan tetap membuka notifikasi di ponsel kecilnya yang layarnya sudah retak, melihat satu pesanan yang muncul seperti komet dalam kabut: "Paket Pendidikan - SDN Batu Penjuru. Kirim Hari Ini."

Motornya yang ia panggil “Satria” tak bisa bergerak, terdiam di bawah terpal. Hujan turun tanpa henti. Tapi Arwan tahu, banjir bukan hal baru. Yang berbeda hari itu adalah perasaannya, kalau buku-buku dalam paket itu tidak sampai hari ini juga, maka yang akan tenggelam bukan hanya barang… tapi rasa percaya.

Baca juga: Merangkai Kata

Dus itu tidak besar. Tapi isinya seperti rangkuman utuh tentang dunia yang sedang diperjuangkan: buku matematika, modul digital cetak, komik sains, bahkan surat dari seorang guru pusat untuk murid-murid kelas enam. Di samping stiker JNE dan barcode pengiriman, ada tulisan tangan dengan spidol merah: "Harap Jangan Terlambat. Di dalamnya ada alasan bagi anak-anak untuk tetap percaya bahwa hari esok pantas diperjuangkan."

Ia menaruh dus itu di bagian depan motornya, membungkusnya dengan jas hujan yang sudah berlubang, dan mulai menyusuri jalan yang dulu bernama aspal tapi kini hanyalah aliran air berlumpur dengan dedaunan dan plastik yang menyangkut di akar-akar pohon. Sekitar enam kilometer dari tempat tinggalnya, Arwan tiba di jembatan yang biasa ia lewati. Tapi kali ini, jembatan itu telah menjadi bagian dari sungai. Tidak ambruk. Tidak roboh. Ia menghilang, seolah ditelan diam-diam.

Di seberang sana, samar terlihat atap sekolah panggung. SDN Batu Penjuru. Tempat anak-anak belajar mengeja cita-cita, tempat di mana sinyal mungkin hilang tapi semangat belajar tetap menyala. Tempat di mana buku adalah jendela, bukan dekorasi.

Arwan tak pulang. Ia tak mundur. Ia berjalan menuju rumah Pak Husni, seorang nelayan tua yang dikenal karena rakit buatannya yang aneh: terdiri dari lima drum plastik, papan kayu, dan tali tambang yang tampaknya sudah dipakai berkali-kali.

"Pinjam rakitnya, Pak. Saya harus antar paket ke SDN Batu Penjuru."

Pak Husni terkekeh, menatap langit yang belum lelah menangis.
"Sekolahnya banjir. Anak-anak pindah ke rumah kepala desa. Kamu nyebrang buat apa sih? Masih bisa besok-kan."

Arwan memeluk dus itu.
"Kalau saya mundur, mereka belajar bahwa mundur itu wajar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun