Mohon tunggu...
Rinta Wulandari
Rinta Wulandari Mohon Tunggu... A Nurse

Wanita Muslim. Menulis untuk Menyenangkan Hati, Melegakan Fikiran. Purna Nusantara Sehat team Batch 2 dan Nusantara Sehat Individu VII Kemenkes RI. ## Perawat di RS milik Kementerian Kesehatan RI 2019-sekarang. email: rinta.write@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Menghadapi Kendala Bahasa dalam Pelayanan terhadap Pasien

14 Oktober 2025   18:16 Diperbarui: 15 Oktober 2025   06:06 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by Canva AI/Diolah Penulis

Bahasa menjadi salah satu cara yang bisa dipahami perawat dan dokter dalam mengetahui keluhan pasien. Komunikasi yang baik, bahasa yang mudah dipahami, sangat membantu dokter, perawat atau tim pelayanan lain disebuah instansi kesehatan. Jika tidak ada yang satu ini, atau hanya bahasa tubuh saja, sulit mengetahui lebih pasti apa yang dikeluhkan pasien.

Namun bagaimana jika kita berada di sebuah daerah, nun jauh di sana dengan bahasa daerah tersendiri? Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, namun tak bisa dipungkiri jika orangtua zaman dahulu hanya mampu mengucapkan bahasa daerahnya saja.

Hal ini terjadi tahun 2015 lalu tatkala aku bertugas sebagai perawat di sebuah puskesmas rawat inap yang memiliki IGD 24 Jam di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Aku bertugas jadi perawat yang standby di IGD. 

Saat itu aku shift siang, tiba-tiba ada seorang ibu yang cukup tua ditemani oleh seorang ibu juga. Karena perawat yang berjaga hanya 2 orang dan 1 bidan. Saat itu bidan sedang menerima pasien di ruang belakang sedangkan seorang perawat sedang membersihkan luka pasien kecelakaan. Aku yang menyambut pasien, seorang ibu tua.

Aku mempersilahkan si ibu untuk duduk terlebih dahulu, sambil aku periksa tekanan darah dan bertanya keluhannya.

"Apa keluhannya Mak Cik?" tanyaku sambil memasang tensi di lengan kanannya.

Si pasien menjawab "[&:$,$*$$^*" menunjukkan aku tidak paham sama sekali apa yang si ibu ucapkan. Aku langsung melirik kak Nurlina, perawat partnerku yang saat itu sudah hampir selesai obati luka pasien. 

"Kaa tolongin," ucapku. Ka Lina tersenyum sedikit terbahak "ndak Pahamkah kau, Silo?" Aku menggeleng.  Lalu ia beralih mendekati si pasien. 

Kak Nurlina langsung berdialog dengan pasien, menggunakan bahasa Bugis.

"Magai Mak Cik, aga  ta mapeddi iya essoe?" (Bagaimana ibu, apa keluhan nya hari ini?)

"Ulu ku na wetta ku mapeddi. 2 ngesso na joli-joli, Melo to ka tallua tapi de Gaga messu...." (Kepala dan perut saya sakit. Sudah 2 hari ini buang air besarnya cair.. sering mual dan terasa ingin muntah...)

"Oh iye, Liu ki pale Dolo di kasoroe, u wobbire ki doktoro parissa ki.." (Baik bu, silahkan tidur dulu di tempat tidur ya.. saya akan panggilkan dokter untuk periksa kondisi ibu...)

Dokter kami memeriksa pasien. Kebetulan dr. Astri Suliarini asli Jawa. Apakah ada kendala bahasanya juga? Aku memperhatikan beliau memeriksa pasien. Oh sepertinya tak jadi kendala. Karena dokter Astri sudah hampir 10 tahun bertugas di Kalimantan, ia sudah cukup mengerti, namun memang belum bisa menjawab dengan bahasa Bugis juga.

Ilustrasi by Canva AI/Diolah Penulis
Ilustrasi by Canva AI/Diolah Penulis

Dua tahun di Pulau Sebatik membuatku belajar Bahasa Bugis sedikit-sedikit. Ya, area Kalimantan Utara ini justru dipenuhi oleh orang asli Sulawesi, berbahasa Bugis. Bukanlah orang asli Kalimantan yang bersuku Dayak. Menurut penelusuranku suku Bugis menjadi kelompok etnis pertama yang datang dan bermukim di Sebatik, yang dipelopori oleh Ambo Emmang dari Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sehingga bahasa dan budaya mereka menjadi mayoritas. 

Dua tahun di Kalimantan membuat aku sedikit mengerti bahasa Bugis. Hanya kalimat sehari-hari saja. Misalnya, Tabe' (untuk kata maaf dan permisi), Manre' (makan) Mapeddi (sakit), caleda' (genit), kita atau ta (kamu), dll.

**

Waktu berlalu, beberapa minggu lalu kasus kendala bahasa ini berulang. 

Kali ini di poli 15 tempatku bertugas. Seorang ibu berbahasa Inggris campur Indonesia datang berobat. Dokter yang bertugas cukup bisa berbahasa Inggris, untungnya. Aku hanya mendengarkan, dan syukurnya si ibu cukup mengerti juga bahasa Indonesia. Jadi, dokter yang bertugas pakai campur juga Inggris -Indonesia dalam komunikasi pada pasien ini. Yang unik terjadi pada saat dokter menjelaskan hasil rontgen bahu pasien. 

"Terdapat kalsifikasi bu.. in here...," kata dokter sambil menunjuk tempat yang dokter maksud.

"What? Kals? Kalsi?" tanya ibu.

Tiba-tiba ibu mengetik di google terjemahan. Bahasa Indonesia ke bahasa Arab. Melihat hal itu aku makin geleng-geleng, waah wah... 

Tapi setelah melihat maknanya pakai bahasa Arab si ibu jadi paham maksud dari dokter. "oh ya, kalsium menumpuk ya?" tutur si pasien.

"Sudah berapa lama ibu di Indonesia?"

"Saya sudah 15 tahun di Indonsia, ikut suami bekerja di sini. Tapi saya ada juga kerjanya di sini...," ucapnya perlahan dengan aksen Inggris sekaligus Arab.

"Ibu asal mana toh?" tanya dokter.

"Saya asal Maroko...."

Untunglah kali ini cukup tertangani lagi kendala bahasa ini. Terima kasih pada teknologi, google translate, AI, dll karena mempermudah komunikasi kami dengan pasien yang memiliki bahasa tertentu.

Berada di Indonesia yang memiliki bahasa persatuan: Bahasa Indonesia. Negara kita yang berpulau-pulau, banyak suku dan budaya. Bahasa Indonesia menjadikan ciri tersendiri, bahwa itulah bahasa utama negara kita. Namun tentu bahasa daerah juga tidak boleh ditinggalkan, karena bahasa daerah merupakan bahasa kecil kita. Bahasa ibu kandung kita; daerah tempat kita lahir. 

Ilustrasi by Canva AI/Diolah Penulis
Ilustrasi by Canva AI/Diolah Penulis

Maka manusia memang memiliki kemampuan untuk bisa memahami banyak bahasa. Bahasa yang selalu digunakan, selalu dipakai, selalu diperdengarkan lama kelamaan menjadi bahasa yang kita pahami.

Sebagai tenaga kesehatan memahami bahasa supaya mengetahui makna komunikasi dari para pasien merupakan suatu keharusan. Agar keluhan pasien bisa diperiksa dengan baik, serta ditangani tepat sasaran. Maka jika pun seseorang memiliki kendala dalam berbahasa misalnya tuna wicara, keluarga dekat yang memahami cara berbicara dengan pasien ini penting untuk dihadirkan sebagai jembatan komunikasi antara dokter dan pasien.

Dear Kompasianer, adakah pengalaman terkait kendala bahasa dalam komunikasi sehari-hari dengan klien di kantor? Bagaimana caramu menyikapinya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun