"Ulu ku na wetta ku mapeddi. 2 ngesso na joli-joli, Melo to ka tallua tapi de Gaga messu...." (Kepala dan perut saya sakit. Sudah 2 hari ini buang air besarnya cair.. sering mual dan terasa ingin muntah...)
"Oh iye, Liu ki pale Dolo di kasoroe, u wobbire ki doktoro parissa ki.."Â (Baik bu, silahkan tidur dulu di tempat tidur ya.. saya akan panggilkan dokter untuk periksa kondisi ibu...)
Dokter kami memeriksa pasien. Kebetulan dr. Astri Suliarini asli Jawa. Apakah ada kendala bahasanya juga? Aku memperhatikan beliau memeriksa pasien. Oh sepertinya tak jadi kendala. Karena dokter Astri sudah hampir 10 tahun bertugas di Kalimantan, ia sudah cukup mengerti, namun memang belum bisa menjawab dengan bahasa Bugis juga.
Dua tahun di Pulau Sebatik membuatku belajar Bahasa Bugis sedikit-sedikit. Ya, area Kalimantan Utara ini justru dipenuhi oleh orang asli Sulawesi, berbahasa Bugis. Bukanlah orang asli Kalimantan yang bersuku Dayak. M
enurut penelusuranku suku Bugis menjadi kelompok etnis pertama yang datang dan bermukim di Sebatik, yang dipelopori oleh Ambo Emmang dari Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sehingga bahasa dan budaya mereka menjadi mayoritas.Â
Dua tahun di Kalimantan membuat aku sedikit mengerti bahasa Bugis. Hanya kalimat sehari-hari saja. Misalnya, Tabe' (untuk kata maaf dan permisi), Manre' (makan) Mapeddi (sakit), caleda' (genit), kita atau ta (kamu), dll.
**
Waktu berlalu, beberapa minggu lalu kasus kendala bahasa ini berulang.Â
Kali ini di poli 15 tempatku bertugas. Seorang ibu berbahasa Inggris campur Indonesia datang berobat. Dokter yang bertugas cukup bisa berbahasa Inggris, untungnya. Aku hanya mendengarkan, dan syukurnya si ibu cukup mengerti juga bahasa Indonesia. Jadi, dokter yang bertugas pakai campur juga Inggris -Indonesia dalam komunikasi pada pasien ini. Yang unik terjadi pada saat dokter menjelaskan hasil rontgen bahu pasien.Â
"Terdapat kalsifikasi bu.. in here...," kata dokter sambil menunjuk tempat yang dokter maksud.