Sewaktu kecil hampir sebagian besar anak tidak suka sayur. Sebagian orang tua mengalah dan memilih "memanjakan" dengan memberikan makanan yang disukainya dengan alasan sederhana agar mau makan, tetap sehat dan berat badannya tumbuh berkembang dengan baik sesuai usia pertumbuhan.
Namun seiring waktu hal itu membantu membentuk kebiasaan pola makan dan ragam makanan yang menjadi pilihannya. Sehingga tidak heran hingga anak-anak tumbuh besar, ada anak yang tidak suka ikan, tidak suka sayur. Atau sebaliknya hanya suka ikan, sayur tidak terbiasa dengan makanan lainnya.
Apakah hingga sekarang kita termasuk orang yang suka pilih-pilih makanan? Bisa jadi hal itu memang bukan sesederhana hanya sekadar soal selera. Bisa jadi, jawabannya tersembunyi di masa kecil kita atau siapapun yang mengalami kondisi tersebut---di meja makan, di antara suapan penuh negosiasi, atau bahkan di bawah bayang-bayang aturan keras orang tua yang menyerupai "kompeni."
Parenting VOC, Gaya Pengasuhan Apa Lagi?
Memang media sosial masih terus memberi kita temuan trend yang kadang-kadang memang menarik menjadi renung kaji kita. Seperti belakangan ini, media sosial X diramaikan oleh istilah baru--Parenting VOC. Sebuah gaya pengasuhan yang konon mirip gaya pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie---otoriter, disiplin, dan penuh kontrol.
Apa yang menarik dari trend yang menggoda publik untuk ikut membicarakannya secara intens?.
Saya bisa merasakan mengapa trend ini menarik untuk kita perbincangkan---menjadi diskursus juga boleh selama bisa membangun pola pikir kita menjadi lebih baik. Saya melihat beberapa keponakan juga menunjukkan gejala yang sama soal pilih-pilih makanan.
Perilaku ini seringkali membuat orang tua repot ketika tidak siap memenuhi permintaan anak yang cenderung seperti "manja dan rewel". Apalagi jika kebiasaan makan itu ditambah dengan tekanan anak---disediakan fasilitas pendukung---tontonan selama makan.
Dalam konteks bagaimana membangun pola kebiasaan makan anak, orang tua dianggap "berjasa" bila sukses menyuapi anak tanpa bantuan tontonan Baby Shark atau YouTube.
Tapi benarkah pendekatan ini efektif? Atau malah meninggalkan bekas psikologis yang kemudian menjelma dalam bentuk perilaku picky eater?