Dalam ingatan, saya sempat stuck menulis selama tiga bulan pada Oktober-Desember 2024 karena kesibukan yang membuat saya kehilangan waktu, ditambah prokrastinasi menulis--menunda untuk mulai menulis meskipun idenya seru. Akibatnya selama masa hibernasi kreatif-periode panjang tanpa menulis dengan kompasiana itu sumbangan artikel saya nol besar.
Tapi memasuki periode Januari 2025 saya come back lagi, meski hanya dengan 5 artikel. Beruntung 3 diantaranya menjadi headline. Dengan keberuntungan itu saya berharap tidak boleh ada lagi bulan kosong dari "tabungan" tulisan.
Dan di bulan Februari 2025, saya hanya bisa mengisinya selama 22 hari dengan 10 artikel diberi label Artikel Utama dan 13 Artikel Pilihan. Dua diantaranya masuk ke infinite--Kesendirian yang Menguatkan, Mengapa Jomlo Tidak Selalu Berarti Sepi dan Kiat Keluarga Cerdas, Jaga Ketahanan Finansial dalam Fenomena Efisiensi Anggaran.
Tapi di bulan Maret berkat tantangan Diari Ramadan saya bisa menulis 49 artikel, 10 diantaranya Headline. Dan yang membuat semangat itu bertambah besar karena sebuah keberuntungan, pada artikel pertama tanggal 1 Maret 2025 yang berjudul; Habis YOLO dan Frugal Living Terbitlah YONO, Alternatif Baru Gaya Hidup Sederhana Junjung Kualitas meski tidak menjadi 'Artikel Utama", hanya "Artikel Pilihan" ternyata dibaca oleh 43.903 orang hingga akhir Maret 2025.
Sebenarnya menulis di kompasiana adalah cara saya belajar "menabung". Dengan cara memaksa diri meski didera kesibukan sekolah, berharap bisa selalu menulis, karena dengan cara itu saya bisa terus belajar dan siapa tahu tulisan-tulisan itu akan berguna pada waktunya nanti.
Saya pernah membaca kompasianer senior yang ternyata bukan orang biasa. Seperti buku Tanpa Gaptek dan Gupsos: Menuju Generasi Indonesia Bisa! karya Pak Kusmayanto Kadiman yang "menghuni" pustaka rumah, adalah karya seorang kompasianer yang juga merupakan Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB). Menurut penuturan beliau, karya tulisnya itu dikumpulkan selama ia menulis di Kompasiana.
Hingga akhirnya karena kesibukan setelah menjabat sebagai Rektor, menulis di kompasiana di jeda, tapi menulis tetap menjadi salah satu kebiasaan yang terus dijaganya sebagai rutinitas. Buku yang super keren itu sangat mencerahkan. Meskipun berlatar belakang ilmu sains, tapi ulasan Pak Kus soal masalah sosial, tajam dan keren banget.
Coba bayangkan kompasianer setingkat Pak Kus yang rektor ITB, dan sibuk saja terus menulis dan membuat buku, tentu saja itu membuat saya dan mungkin banyak kompasianer akan merasa "disemangati" agar bisa berkontribusi lebih baik lagi untuk negeri.
Kata imam Al-Ghazali, salah satu seorang cendekiawan muslim yang terkenal, "Apabila engkau bukan putra raja atau putra ulama besar, maka menulislah!" . Menulis merupakan salah satu kegiatan yang bisa dilakukan oleh banyak orang, dan bisa membuat banyak orang mengingat kita dari karya yang dihasilkan.
Budaya Membaca dan Menulis Para Guru yang Masih Kurang
Budaya membaca adalah kebiasaan atau pola perilaku dalam membaca yang diterapkan secara luas dalam suatu masyarakat. Budaya ini penting karena berperan besar dalam pengembangan intelektual individu. Di era informasi dan digital saat ini, membaca tidak hanya terbatas pada buku cetak, tetapi juga mencakup media digital seperti e-book, artikel online, dan media sosial.
Namun bagi kalangan pendidik saja persoalan membiasakan diri membaca sebagai cara bisa memperkaya referensi bahan menulis masih belum selesai. Seperti sebuah potongan opini di kompas 16 Mei 2022 berjudul; Guru dan Buku-buku yang Tak Perlu. Narasi pembukanya cukup menarik.
Tak sedikit guru yang menulis buku demi menambah poin kredit sehingga mengabaikan kualitas dan proses yang benar. Untuk memajukan literasi baca, memotivasi guru membaca jauh lebih penting dan mendesak daripada menulis.
”Sahabatku Max yang baik,” tulis pria sekarat itu. ”Permohonanku yang terakhir ialah supaya semua karyaku, begitu juga buku catatan, naskah-naskah, serta surat-surat ... bakar sajalah supaya jangan terbaca lagi. Yang ada pada orang lain minta saja supaya mereka bakar sendiri.”
Itu adalah kata-kata Franz Kafka, seperti dikisahkan oleh Wilson Nadeak (1984:11). Kafka selalu merasa karyanya tidak pernah ditulis dengan baik. Oleh beberapa orang dia dianggap kritikus yang kejam atas karya-karyanya sendiri. Untungnya, Max Brod, sahabat yang disebutnya itu, tidak melaksanakan apa yang diminta Kafka. Kalau semua karya itu dibakar, maka publik secara luas tidak bisa menikmati apa yang ditulis Kafka.
Begitulah seorang penulis "memahami" bagaimana hasil karya mereka. Meski sudah sangat baik pun ia masih merasa "kurang". Barangkali itu juga yang terjadi pada banyak penulis. Kekurangan bahan bacaan--karena membaca masih belum menjadi budaya yang intens menyebabkan banyak pendidik seperti saya masih belum sepenuhnya tertarik untuk menulis karena masih merasa kurang.
Apalagi yang merasa tidak memilik banyak bacaan sehingga kadang kala merasa tulisannya tidak berbobot, bahkan mungkin dianggap buruk, sehingga kemudian memilih untuk tidak menulis. Apalagi ditambah merasa tidak memiliki bakat. Meskipun hal itu masih bisa diperdebatkan karena menulis bisa menjadi lancar jika terus dilatih.
Namun persoalannya adalah karena membaca dan menulis dua bagian dari literasi itu memang belum menjadi bagian dari kebiasaan banyak orang, termasuk juga di kalangan pendidik.
Kita masih membutuhkan banyak stimulasi dan juga motivasi. Memang harus diawali dari adanya inisiatif, barulah bisa memancing motivasi. Kompasiana sebagai ruang menulis menjadi salah satu yang bisa menstimulasi kita untuk berkarya melalui tulisan. Dimulai dari adanya inisiatif, stimulasi dari ruang menulis, barulah kita bisa termotivasi untuk menulis.
Dalam urusan membaca yang memungkinkan akses pada informasi penting yang bisa memberdayakan individu, ternyata menurut laporan UNESCO 2016, indeks literasi Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 77 negara dalam hal kemampuan membaca.
Budaya membaca di Indonesia masih terbilang rendah. Rata-rata orang Indonesia membaca kurang dari 3-4 buku per tahun, yang jauh di bawah standar negara-negara maju. Minat baca di Indonesia juga terhambat faktor infrastruktur, seperti minimnya akses ke perpustakaan di daerah terpencil.
Ternyata pekerjaan rumah kita masih besar dalam urusan mengajak orang untuk membaca, apalagi menulis. Namun tidak ada salahnya kita memulai menulis sekalipun daftar bacaan kita belum banyak. Setidaknya dengan memulai menulis siapa tahu bisa memancing keinginan untuk membangkitkan "rasa ingin tahu" dengan memulai membaca untuk memperkaya tulisan.
Apalagi seperti di ruang kompasiana, tidak ada judgment-pengadilan atas tulisan dalam apapun bentuknya selama tidak melanggar aturan seperti sara dan hal sensitif lainnya. Selain itu apapun bentuk tulisan kita walaupun sederhana memiliki tampat tampungan dalam akun personal yang dimiliki masing-masing kompasianer.
Siapapun bisa dan berhak menulis. Dan melalui proses pembelajaran yang terus menerus-konsisten, setiap orang bisa menjadi penulis yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI