Diana bergeming. Ddanya tiba-tiba sesak. Kepingan memorinya sedang bermain-main dalam kenangan yang menyertakan duka. Setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Makin dekat, dadanya makin sesak.
"Vem, ka-kamu aja yang kasih makanan ini. Tolong bilang, besok kita kirim makanan lagi. Tapi jangan ambil makanan dari tong sampah."
"Ta--" Vemy tak sempat lagi menyela. Dia melihat kakaknya berlari sambil menangis. Sementara, bungkusan nasi dan ikan peda dan ayam goreng ada di tangannya.
Vemy bersangsur mendekat sambil mengucap salam. Tak lama kemudian, Santi muncul dengan wajah semringah.
***
Dia sesenggukan di kamar. Dia terlihat terpukul melihat pemandangan rumah Santi tadi. Dadanya seperti diaduk-aduk. Dia merasa bersalah. Isakan lirihnya terdengar Mama yang hendak turun ke lantai bawah. Kamar Diana, berhadapan dengan kamar mama papanya.
Isakan Diana membuatnya tak menyadari kehadiran Mama. Lama Mama berdiri mengamati anak sulungnya itu.
"Ya Allah, bisa-bisanya aku hidup enak sementara mereka seperti itu," bisiknya lirih. "Ampuni aku." Tangisnya kini pecah. Gempuran sesal yang membuat dadanya sesak tak mampu lagi dibendung.
Mama mendekat. Mengusap lembut kepala Diana hingga gadis itu tersadar, wanita yang dipanggilnya mama itu sudah berada di pinggir ranjangnya.
"Mah. Di minta maaf, ya."
"Ssst. Sudah, Sayang. Kamu sering bilang minta maaf." Mama memeluk Diana. "Ada apa, Sayang? Apa ada yang menyakiti kamu lagi?"