Di kerimbunan remang hutan,  pepohonan menunduk dalam bisu panjang, menyaksikan diri mereka perlahan tergigit oleh lidah manusia. Hutan yang dulu riuh oleh orkestra daun, burung, dan hewan, kini tersisa serpihan bayang. di mana cahaya menetap laksana  darah senja yang menggantung antara bumi dan langit
Di lorong-lorong rimba Sumatra, di mana kabut dan bayang-bayang menari tanpa suara, tersisa makhluk yang pernah menjadi simbol kekuatan dan keteguhan alam. Harimau Sumatra, Panthera tigris sumatrae, tersisa bayangan yang nyaris hilang, sang raja berlapis emas dan malam. Jumlahnya kini serupa bisu dalam lembaran sejarah, kurang dari 600 individu di alam liar, dengan hanya sekitar 290 betina dewasa yang mampu melanjutkan garis keturunan. Fragmentasi habitat dan perburuan ilegal telah menggerus populasi mereka, menenggelamkan keberanian raja rimba ke dalam bayang-bayang pepohonan yang roboh. menyusuri lorong-lorong yang digerus oleh tangan manusia. Pepohonan, dulu saksi bisu langkahnya, kini rebah, diganti hamparan sawit dan kertas yang menelan suara alam.
Hampir 50% hutan Sumatra telah hilang akibat konversi lahan untuk perkebunan sawit, industri kertas, dan pemukiman. Lorong-lorong rimba terpecah, memaksa harimau tersesat di pulau-pulau mini yang menyimpan sunyi dan ketakutan. Patroli, kamera jebak, dan upaya konservasi hadir sebagai mantra-mantra penahan kepunahan, namun harimau Sumatra tetap menari di ambang bayangan, perenang ulung di sungai yang kini sempit, raja yang kecil tapi tangguh. Setiap taring, setiap tatapan, adalah pesan dari dunia lain. suatu peringatan dan doa agar manusia menafsirkan bisikan terakhir rimba sebelum sunyi menelan sang penguasa.
Hutan ini, dulu simfoni kehidupan yang utuh, kini hanyalah fragmen-fragmen kerisauan. Suara deru mesin pembalak memecah keselarasan alam. aroma tanah basah yang dulu harum dengan kehidupan kini tertutupi debu dan luka. Bagian tubuh harimau, kulit, taring, tulang masuk pasar gelap, sementara harimau yang tersesat ke perkebunan menghadapi ancaman manusia, konflik yang memakan korban ternak bahkan nyawa manusia.
Ancaman bukan hanya datang dari jerat dan peluru yang menanti di kegelapan, tetapi juga dari rimba yang terpecah-pecah, di mana pepohonan yang menahan keseimbangan ekosistem tumbang perlahan. Setiap langkah sang harimau kini seperti bait puisi yang tersisa, menyisakan gema sunyi yang hanya bisa ditafsirkan oleh mereka yang masih mampu mendengar bisika alam. sang harimau sumatra tidak hanya berburu, ia menapak di antara bayangan eksistensi yang kian memudar. belangnya yang berputar putar seperti tinta alam menjadi semacam mantra yang menandai eksistensinya di antara retakan hutan yang menjerit
suara angin di kanopi menjadi nyanyian ratapan, daun-daun yang gugur menari seperti kesedihan kolektif yang tak terucap. Ia adalah metafora dari kepunahan yang bergerak pelan, yang tak menunggu simpati, tapi menuntut kesadaran.Di langit yang terbelah oleh senja, burung-burung berlarian seperti huruf yang tercecer, Lorong-lorong alam terpecah, satwa tersesat di pulau-pulau mini hutan yang terisolasi, kehilangan ritme dan napas bersama hutan yang dulu satu.
Reproduksi lambat membatasi harapan. lahir dua atau tiga anak, namun kematian dan ancaman membuat regenerasi terhenti. Harimau Sumatra bukan sekadar makhluk, melainkan fragmen keberanian, cermin kesehatan rimba, dan bahasa alam yang merintih di ujung zaman. Punahnya mereka bukan hanya tragedi satu spesies, tetapi tanda bahwa seluruh rimba simfoni kehidupan yang dulu riuh perlahan berubah menjadi sunyi tanpa gema.
fakta ini berbunyi seperti ratapan rimba, sang raja emas berjalan di lorong sunyi, langkahnya menjadi fragmen puisi yang memintakan belas. Setiap kehilangan bukan sekadar statistik, ia adalah bisikan waktu dan alam, menuntut manusia untuk menafsirkan bahasa sunyi sebelum seluruh hutan dan penghuninya menjadi legenda yang hilang.
Fakta mencengangkan menyelimuti keberadaan mereka, Â dalam dekade terakhir, hilangnya habitat dan perburuan ilegal telah menggerus lebih dari separuh populasi. Program konservasi memang ada, namun pertarungan antara manusia dan alam ini tetap terasa tak seimbang. Harimau Sumatra bukan sekadar hewan, Â mereka adalah bahasa rimba yang mengingatkan manusia akan tanggung jawabnya terhadap bumi yang semakin rapuh.
Kebakaran hutan, baik alami maupun buatan, menjadi napas panas yang menggerus akar kehidupan, meninggalkan langit berwarna abu dan udara yang mencium duka.Dalam keheningan, manusia menuntut kulit, taring, dan nyawa. rimba yang dahulu bebas kini diukur oleh jejak kaki dan jerat yang menunggu.
Namun, di tengah kehancuran, ada celah harapan. Tunas kecil muncul dari retakan tanah, daun baru melambai di pepohonan yang tersisa, dan suara langkah dan napas hewan yang hampir punah  memanggil manusia untuk mendengar. Fragmen kehidupan ini mengingatkan kita. menjaga hutan bukan sekadar melindungi pohon atau satwa, tetapi memahami bahasa alam dan meresponsnya dengan tindakan nyata.
Hutan tetap bernyanyi, meski nadanya samar. kehidupan tetap bergerak, meski terancam. resonansi tetap ada, meski dunia kadang tak mendengar. Dan jika manusia mampu mendengar, menafsir, dan merespons, fragmen rapuh itu tidak akan punah. Ia akan tetap menulis dirinya kembali, langkah demi langkah, daun demi daun, gema demi gema.
Solusi untuk menyelamatkan mereka terletak pada kesadaran dan tindakan manusia. Mengurangi deforestasi, melindungi habitat kritis, mendorong konservasi berbasis komunitas, dan menanam kembali pohon-pohon asli adalah langkah nyata. Lebih dari itu, kita harus belajar membaca fragmen rimba. Â mendengar gema gajah, merasakan puisi orangutan, dan mengamati langkah harimau. Tindakan ini bukan sekadar konservasi, tetapi resonansi kehidupan. mengembalikan keseimbangan yang sempat hilang.
Jika manusia mau mendengar dan merespons, hutan akan bernapas lagi, dan hewan yang terancam punah itu akan tetap hidup. Mereka akan menjadi orkestra alam yang tak lekang oleh waktu, simbol keberlanjutan, dan panggilan bagi kita semua untuk menjaga bumi agar tidak kehilangan suaranya.