Mohon tunggu...
Rina Sutomo
Rina Sutomo Mohon Tunggu... Berfantasi ^^ -

Hening dan Bahagia menyatu dalam buncahan abjad untuk ditorehkan sebagai "MAKNA"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Di Balik Sarung Lusuh

22 November 2016   13:27 Diperbarui: 22 November 2016   16:27 931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: willingservantministries.org

Siang itu klakson bersahutan di jalanan depan rumah kami. Angin tak juga bergerak menambah beban listrik karena mesin cuci akan bekerja sesering mungkin. Betti - istriku, dia wanita yang sering mengeluhkan bau badanku jika baju yang kukenakan telah menjadi sarang keringat-keringat siangku.

Aku duduk di ruang tengah sambil menjejalkan beberapa kue kering ke dalam mulutku. Sementara di sampingku Betti sibuk menjahit sarungku yang sobek kemarin malam. Di depan kami ada sebuah TV berukuran 20 inchi sedang menayangkan demo besar-besaran pada si kafir yang sempat salah bicara – atau menurut Betti itu hanya karena pendemo yang kurang sukses untuk mencernanya.

Aku menikmatinya, membiarkan bibirku mengoceh tak jelas sambil menunggui pendapat istriku, wanita itu bisa aku andalkan dalam segala hal kecuali memasak. Bahkan aku terpaksa sering lembur untuk menambah pemasukan dana konsumsi harian kami.

“Keren ya, Ti!”
“Apanya Mas?”
“Makanya kamu tonton TV-nya. Ngapain kamu itu di depan TV malah fokus sama jahitan.”
“Rewel.”

Istriku menjawab dengan nada jengkel. Aku sengaja mengajaknya ribut siang ini. Rumah ini akan sepi saat Betti sibuk dengan dunianya sendiri.

“Benar! Demo seperti itu adalah jihad! Itu untuk NKRI!”

Istriku memilih diam dan tak menyuarakan pendapatnya. Aku mengalihkan kembali perhatianku pada televisi yang menyiarkan rencana aksi lanjutan pada bulan depan yang katanya akan memblokir jalanan.

“Jalanan memang harus diblokir! Yang terpenting si kafir di bui!”
“Penemu televisi yang kamu tonton setiap hari itu orang kafir lho, Bang.”
“Darimana kamu tahu?”
“Bahkan aku pesan sofa yang kita duduki ini dari tokonya orang Budha di seberang jalan.”
“Kok kamu tahu?”
“Aku memang tahu lebih banyak darimu.”

Istriku mulai memberikan pendapatnya. Dia tarik benang itu hingga patah lalu ia tali untuk mengunci jahitannya itu. Sangat rapi, pikirku dalam hati. Wanita itu tidak cantik untuk ukuran pak Lurah sepertiku. Seharusnya aku memilih yang lebih cantik lagi, namun yang bersedia hidup denganku sejak aku miskin dulu hanyalah si Betti. Dengan begitu aku tak memiliki alasan lain untuk berpoligami, meski kadang aku ingin empat atau bahkan lima. Yang satu menyapu, satu mengepel, satu memasak, satu mencuci baju, dan si Betti hanya bertugas di kamar menemaniku.

“Masukkan ini! Ngelamunin apa kamu itu, Bang?”

Ia menyodorkan benang dan jarum padaku. Aku masukkan pelan-pelan dan ia mulai menjahit lagi.

“Ti…”
“Apa Bang?”

Wanita itu menghentikan jahitannya sejenak. Ia memandangi wajahku dengan rasa cemas. Tak ada yang dicemaskannya kecuali jika aku meminta untuk kawin lagi. Aku pun bersumpah tidak akan melakukan itu. Rekening bank-ku hanya cukup untuk hidup berdua dengan Betti, sementara janin di perutnya juga butuh dana tambahan nantinya.

“Aku ingin ikut jihad membela NKRI, Ti!”
“Kamu mau turun ke jalan Bang? Demo dengan mereka?”

Matanya terbelalak dengan jari telunjuk mengarah ke TV di hadapan kami. Saat itu TV sedang menayangkan kepala-kepala dengan sorban putih yang sangat aku sukai.

“Aku ingin memakai sorban Ti!”

Wanita itu tidak menjawab dan melanjutkan kembali menjahit dasternya yang juga sobek kemarin malam. Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah masam. Aku tahu betul ia sedang tak suka dengan pembicaraan seperti ini.

“Dia yang di musuhi oleh kaum kita itu orang kafir. Kafir itu sebaiknya dimusnahkan saja!”

Aku terbawa emosi, terlebih lagi istriku tak mau menjawabnya. Aku bicara lebih keras lagi agar wanita itu mau mendengar bahwa aku ini suaminya, suami yang baik dan mencintai agama.

“Ti! Pokoknya aku ikut! Meruntuhkan orang kafir demi agama kita!”

Wanita itu berdiri seketika. Dasternya yang belum selesai dijahit ia lemparkan padaku berikut jarum dan benangnya. Aku menangkapnya dengan terkejut.

“Astaghfirullah Bang! Kamu teriak itu kafir, dia kafir, anu kafir! Apa kamu tadi pagi juga sholat subuh Bang? Apa tahun kemarin kamu juga berpuasa Bang?”

Aku menunduk malu dan sedikit kesal dengan jawabannya yang memojokkanku. Aku kembali menatap layar televisi yang sudah berganti acara. Sementara daster itu aku letakkan di samping kiriku.

“Aku yang lebih mengenalmu Bang, mereka tidak tahu kekafiranmu karena sarung dan kopyah dikeseharianmu! Bukankah kamu itu lebih kafir? si kafir dari golonganmu sendiri!”

Wanita itu pergi ke dapur, mungkin akan membuatkanku kopi. Namun aku bersumpah tidak akan meminumnya karena demam sianida itu belum sepenuhnya berakhir. Aku takkan meminumnya, setidaknya untuk siang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun