Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemerdekaan Sejati Itu Sejatinya Omong Kosong

11 Agustus 2020   22:04 Diperbarui: 11 Agustus 2020   23:14 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: tangkapan layar dari situs theguardian.com

Ketika membaca caption di bawah foto yang ada di awal tulisan ini, sebagian hati saya remuk. Bagaimana tidak; saya pernah tinggal di Neuchatel, sebuah kota kecil di Swis yang tenang dan terletak di pinggir danau. Selama tinggal di sana, sudah tak terhitung berapa kali saya melewati patung David de Pury tersebut.

De Pury adalah seorang pedagang yang memperoleh kekayaannya dari jual beli berlian dan kayu berharga di wilayah Eropa dan Amerika Selatan. Ia menggunakan kekayaannya untuk membangun kota kelahirannya. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama alun-alun utama di kota Neuchatel, yaitu Place de Pury.

Walaupun tidak ada bukti konkrit, De Pury disinyalir sebagai bagian dari "Pangeran Pedagang dari Eropa" yang memfasilitasi perdagangan budak, para orang berkulit hitam dari benua Afrika ke benua Amerika, Perdagangan budak tersebut dikenal sebagai Atlantic Slave Trade yang berlangsung mulai abad ke-16 sampai dengan abad ke-19.

Kampanye Black Lives Matter yang sempat senyap beberapa tahun terakhir kembali digaungkan menyusul kematian George Floyd di tangan polisi di Minneapolis, Amerika Serikat pada akhir bulan Mei tahun ini. Kali ini kampanye BLM tidak hanya menggugat kepolisian yang dituduh bersikap rasis, tapi juga para tokoh penting di seluruh dunia yang diduga, terbukti ataupun tidak, telah mendukung perbudakan dan kolonialisme.

Saya tidak menyangka tindakan anarkis para pendukung gerakan BLM akan secepat itu sampai di Neuchatel. Para perusak patung David de Pury adalah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Setelah melempari patung dengan cat merah, mereka meninggalkan beban untuk membersihkannya kepada pemerintah. Mereka lupa bahwa petugas kebersihan kota tidak bekerja secara gratis; ada orang-orang yang membayar pajak supaya mereka dapat bertugas. Seandainya saya masih tinggal di sana, uang saya akan dipakai untuk sebuah hal yang sia-sia.

Kalau bisa menjaga, mengapa harus merusak? Merusak tanpa kejelasan tindak lanjut atau tuntutan adalah perbuatan seorang pengecut, sebagaimana seorang anak kecil yang hanya bisa menangis merengek ketika hidup tidak berjalan sesuai keinginannya. Dia lupa bahwa dia punya akal dan mulut untuk mengungkapkan isi pikiran dan hatinya dengan cara yang beradab dan tidak merugikan orang lain.

Gelombang protes dan kampanye BLM sebenarnya sudah merebak sejak kematian Ahmaud Arbery pada bulan Februari lalu akibat konfrontasi dengan dua orang berkulit putih. Kematian George Floyd adalah bubuk mesiu tambahan untuk memperkuat ledakan ketidakpuasan terhadap institusi kepolisian. Prediksi saya sejauh ini benar; kematian Floyd akan dibesar-besarkan dan semua orang akan ikut-ikutan menyuarakan BLM walaupun mereka tidak mengerti betul apa yang diperjuangkan oleh mereka yang berkulit hitam.

Polisi yang menekan leher Floyd sehingga ia kesulitan bernapas segera diberhentikan dari pekerjaannya dan ditahan. Institusi kepolisian diserang dan dicap rasis terhadap orang berkulit hitam. Ini sebuah prasangka yang serampangan mengingat para polisi yang terlibat di dalam kasus Floyd tidak semuanya berkulit putih. Mereka membekuk Floyd bukan karena warna kulitnya, tapi karena ia dilaporkan oleh seorang pegawai toko yang menduganya menggunakan uang palsu pecahan 20 Dollar saat bertransaksi.

Saya mencatat lima hal aneh terjadi setelah kematian Floyd:

1. Kasus penggunaan uang palsu oleh Floyd tidak pernah diusut. Kasus ini tersingkirkan oleh kasus kematiannya sesaat setelah ia dibekuk. Para polisi yang datang ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) dipecat dan kemudian didakwa dengan pasal pembunuhan. Apakah kasus uang palsu tersebut sengaja diabaikan atau tidak, tidak ada yang tahu.

2. Gelombang protes dari komunitas berkulit hitam merembet dari Minneapolis ke kota-kota lain di Amerika Serikat. Kepolisian yang menghadang protes massa menghadapi dilema karena tidak semua anggota mereka berkulit putih. Lucunya, di banyak tempat protes tersebut berujung anarkis dan disertai penjarahan toko-toko. Ini protes terhadap "pembunuhan" seseorang atau terhadap ketimpangan perekonomian?

3. Massa yang mendalangi protes meminta institusi kepolisian dibubarkan. Mereka mempersoalkan jumlah anggaran yang besar yang dikucurkan setiap tahun kepada institusi ini. Mereka berdalih tidak perlu ada kepolisian untuk menangani kasus pencurian kecil-kecilan, transaksi narkoba, dan prostitusi. 

Hmm, lalu bagaimana dengan kasus pembunuhan, perdagangan manusia, kartel obat bius, dan sebagainya? Apa perlu dibentuk institusi baru yang tidak ada embel-embel nama polisi untuk menangani kasus-kasus besar tersebut? Dan siapa yang berwenang menentukan sebuah kasus besar atau kecil? Entahlah.

4. Kampanye Black Lives Matter didukung oleh para selebriti dunia melalui pencantuman hashtag BLM dan endorsement tokoh dan bisnis yang dimiliki oleh orang-orang berkulit hitam di media sosial mereka. Seorang artis yang seumur-umur Instagram saya tahu tidak pernah berfoto dengan orang berwarna kulit selain putih, tiba-tiba mengundang seorang doula berkulit hitam dan berkoar-koar betapa ia terinspirasi. Yeah, right. Tidak ada yang mau ketinggalan ombak tren supaya tetap mendapatkan simpati dari para follower lama dan baru.

5. Patung tokoh-tokoh terkenal di seluruh dunia yang disinyalir memrakarsai dan mendukung perbudakan dan kolonialisme dirobohkan dan dihancurkan beramai-ramai oleh para pendukung BLM. 

Yang tidak dirobohkan akan dirusak atau dilempari cat seperti yang terjadi pada patung David de Pury di Swis dan patung Voltaire di Perancis. Mereka yakin polisi dan pihak berwajib lainnya tidak akan berani menghentikan aksi mereka. Mereka menganggap kerusakan dan kekacauan yang mereka timbulkan sebagai bukti pelaksanaan kemerdekaan yang mereka miliki.

Apakah kemerdekaan itu?
Di dalam piagam Hak Asasi Manusia yang dicetuskan oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tahun 1948, hak asasi manusia mencakup hak atas kehidupan dan kemerdekaan, kebebasan dari perbudakan dan penyiksaan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, pekerjaan dan pendidikan, dan masih banyak lagi. Hak-hak tersebut dimiliki oleh setiap manusia di muka bumi ini tanpa memandang ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, etnis, bahasa, agama, dan lain sebagainya.

Hak asasi ini yang menjadi landasan bagi banyak orang untuk memperjuangkan kemerdekaannya, berekspresi sebebas-bebasnya sebagai orang merdeka, tanpa mempertimbangkan kemerdekaan orang lain.

Kalimat pertama di dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 negara kita menyebutkan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Hal ini sejalan dengan isi Piagam Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh PBB. Sebagai hak, ia harus dituntut. Namun sebagai hak, ia tidak bisa diaplikasikan sembarangan.

Jika kemerdekaan adalah hak bangsa A, maka upaya bangsa A untuk menjadi merdeka tidak boleh melanggar kemerdekaan yang menjadi hak bangsa B. Kemerdekaan bangsa A dan bangsa B dibatasi oleh pendefinisian wilayah dan kedaulatan setiap bangsa, yang sudah didiskusikan dan disepakati sebelumnya.

Setiap warga negara bebas dan merdeka mendirikan rumah selama ia memiliki surat atas tanah yang hendak dipakai dan surat ijin untuk mendirikan bangunan. Akan tetapi, upayanya mendirikan rumah tidak boleh melanggar hak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, harus ada batas-batas, komunikasi, dan kesepakatan ketika manusia-manusia yang merdeka memperjuangkan pelaksanaan kemerdekaannya.

Jikalau demikian, apakah kemerdekaan yang digaungkan oleh BLM, sebagai kebebasan dari prasangka, rasisme, berbagai ketimpangan sosial dan ekonomi, dapat disebut sebagai kemerdekaan sejati?

Sesungguhnya kemerdekaan sejati itu sejatinya adalah omong kosong.
Kemerdekaan sejati hanyalah sebuah ide romantis bahwa setiap manusia dapat merdeka semerdeka mungkin, dapat bebas sebebas mungkin, bisa berbuat apa saja dan kapan saja tanpa mempertimbangkan kehadiran, pendapat, dan terutama kemerdekaan dan kebebasan manusia lain.

Ini bisa saja terjadi kalau manusia itu adalah penguasa tunggal wilayah tempat ia berdiam, misalnya ia menemukan dan mengokupasi sebuah planet baru. Namun di bumi yang didiami oleh 7 milyar manusia, kemerdekaan sejati itu sejatinya mustahil untuk diraih. Ada begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Bahkan untuk hal paling dasar seperti kelahiran dan kematian, manusia tidak bisa suka-sukanya tanpa mengindahkan orang lain.

Definisi kemerdekaan sejati sudah seharusnya diubah pada abad yang baru ini.
Bukan lagi kemerdekaan yang mengutamakan ekspresi individu, tapi kemerdekaan yang mengedepankan tepa salira, bahwa manusia tidak hidup dan mati sendirian. Kemerdekaan satu orang harus bisa berdampingan dengan damai dengan kemerdekaan orang yang lain.

Ijinkan saya memberikan sebuah contoh.

Minggu lalu sebuah tulisan saya diprotes karena judulnya. Piagam Hak Asasi Manusia oleh PBB menjamin kebebasan saya untuk berpendapat dan berekspresi. Tulisan tersebut adalah pendapat dan ekspresi saya terhadap gejala sosial yang terjadi di sekitar saya. Seperti milyaran post lain di internet, tulisan saya tidak ditujukan spesifik untuk orang tertentu. Informasi yang beredar di internet bervariasi mulai dari berita yang valid dan terkonfirmasi sampai ke opini dan keluhan personal orang per orang.

Semua orang yang menggunakan internet atau media lain untuk melaksanakan kemerdekaannya beropini dan berekspresi adalah orang-orang yang harus dihargai. Kemerdekaan mereka harus dihormati sebagai hak asasi seorang individu. Akan tetapi, dan ini perlu digarisbawahi, kemerdekaan mereka dibatasi oleh kemerdekaan orang lain untuk merasa tidak nyaman atas opini/ekspresi tersebut.

Saya tidak setuju orang mendikte saya di rumah saya sendiri, di akun media sosial saya sendiri. Akan tetapi, fakta bahwa akun saya dan akun orang yang memprotes menumpang di sebuah platform yang independen dan tidak memihak, membuat saya segera menghapus artikel tersebut. Saya mengedepankan tepa salira dan rasa hormat pada sang pemilik platform yang pasti tidak menghendaki ribut-ribut.

Kemerdekaan saya dalam menulis jelaslah bukan kemerdekaan sejati. Sebagai orang merdeka, saya merdeka dalam berpikir. Seorang budak pun merdeka dalam berpikir. Selama pikiran belum dituangkan, tidak ada yang dapat membatasinya. Seperti sebuah kalimat pada bagian awal film "V for Vendetta", nobody can kill an idea. Tidak ada yang dapat membunuh sebuah ide (atau pikiran).

Walaupun demikian, begitu pikiran itu dicetuskan ke dalam bentuk tulisan, ada kemerdekaan orang lain yang bersinggungan dengan kemerdekaan saya. Ada hak orang lain untuk merasa nyaman yang tidak boleh dilanggar oleh pelaksanaan hak saya untuk menulis. Sebagai seorang penulis yang hidup pada jaman internet dan informasi yang berlimpah, ada dua prinsip yang saya pegang yang berkaitan dengan kemerdekaan penulis lain.

1. Tidak semua tulisan ditujuan kepada saya.
Ini yang saya tekankan kepada diri saya sendiri dan kepada generasi orang tua saya ketika mereka mulai aktif di media sosial. Ada beragam tulisan di internet, tidak semuanya valid dan terverifikasi. Selalu cek ke berbagai sumber sebelum mempercayai sebuah informasi. Wikipedia belum tentu benar karena sembarang orang bisa menulis sembarang artikel di sana.

Tidak usah merasa sebuah tulisan menyinggung secara personal. Jika ada sebuah tulisan berisi opini, maka itu adalah opini pribadi si penulis. Dia tidak akan memikirkan apakah tulisan itu akan menyinggung perasaan saya atau tidak, yang penting dia tetap menulis. Semua orang memikirkan dirinya sendiri, kok. Tidak usah baper dan berpikir ada yang memikirkan perasaan saya di dunia maya.

Saya memegang teguh prinsip pertama ini yang mengarahkan saya kepada prinsip yang kedua.

2. Tidak semua hal harus ditanggapi.
Arus informasi di dunia maya itu terlalu deras. Pada detik ini si A bilang begini dan orang percaya. Pada detik berikutnya si B menyanggah si A dan orang berbalik mempercayai si B. Semua berita bisa berubah dalam sekejap mata, tergantung pembuat berita dan pemangku kepentingan. Supaya tidak kagetan terus, saya bertekad untuk tidak menanggapi semua hal.

Banyak membaca adalah baik untuk memperluas pengetahuan dan untuk mengetahui sudut pandang orang lain. Akan tetapi, saya harus mulai dengan prinsip dan pendirian sendiri yang kemudian dianalisa terhadap prinsip dan pendirian orang lain. 

Ada kalanya sejak awal sudah terlihat bahwa prinsip dan pendirian itu tidak akan ketemu. Ya sudah, saya setuju untuk tidak setuju. Dalam menyerap informasi yang beredar di internet, saya menanggapi yang sepaham dan meninggalkan yang tidak sejalan.

Tidak usah repot-repot mencoba mengubah prinsip dan pendirian orang lain. Seseorang akan berubah hanya jika ia sendiri mau berubah. Berdebat dengan orang asing di media sosial dan di internet tidak memberi manfaat apa pun selain amarah dan kegusaran. Saya sudah lama melepaskan ilusi bahwa saya dapat mengubah orang lain menjadi seperti saya dengan cara debat kusir.

Itu adalah prinsip saya yang mungkin saja berbeda dengan prinsip penulis lain.

Bagaimana dengan Anda? Apa definisi Anda akan kemerdekaan sejati, terutama yang berkaitan dengan dunia kepenulisan? Saya ingin berdiskusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun