Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Penerimaan CPNS, Bagaimana Seharusnya Honorer Dihargai?

4 November 2019   07:07 Diperbarui: 12 November 2019   03:44 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratusan guru honorer non K2 saat demonstrasi di depan gedung DPRD Gresik, Kamis (13/9/2018).(KOMPAS.com/Hamzah)

Saat ini pemerintah sedang mengadakan perekrutan pegawai negeri sipil (PNS). Kembali kita diingatkan lagi soal banyaknya tenaga honorer di Indonesia yang tidak jelas statusnya. 

Ketika saya ke berbagai daerah untuk mengumpulkan bahan untuk menulis buku tentang pendidikan, saya banyak menemui guru atau tenaga kependidikan yang berstatus honorer.

Saya bertemu dengan guru pria di sekolah dasar negeri Bandung, yang telah bekerja sebagai honorer selama 30 tahun. Hal unik dari guru ini adalah dia bekerja di sekolah inklusi yang jumlah anak berkebutuhan khususnya lebih banyak dari siswa regular. 

Seperti diketahui, sekolah inklusi adalah sekolah yang menerima atau menampung ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Artinya, Pak Dede, panggilan guru tersebut, bekerja super berat. Saya yakin lebih berat dibandingkan guru yang mengajar di sekolah dengan ABK yang muridnya sedikit. Umumnya sekolah inklusi sendiri hanya memiliki satu atau dua ABK per kelas. 

Dari beratnya tugas yang diemban Pak Dede, ternyata Pak Dede juga merupakan guru yang berprestasi, yang mana ia pernah menjuarai perlombaan tingkat nasional di bidang inovasi pembelajaran (Inobel) tahun 2019 yang lombanya berlangsung di Malang, Agustus lalu. 

Dalam perlombaan tersebut, Pak Dede memperkenalkan inovasi metode pembelajaran tutor sebaya di kelas. Intinya, anak reguler dibimbing untuk menjadi tutor bagi ABK dalam pembelajaran. Cara tersebut tentunya menguntungkan dua belah pihak, yang mana ABK akan menjadi lebih pandai, dan anak reguler akan memiliki rasa empati kepada ABK. 

Beberapa kasus, mereka yang berprestasi di tingkat nasional adalah tenaga honorer. Setiap tahun, selalu ada tenaga honorer yang melahirkan berbagai karya yang hebat. 

Pertanyaannya ialah, "apakah masih ada keraguan bagi negara untuk memberi penghargaan kepada tenaga honorer dengan prestasinya yang terbilang baik?" Pola penerimaan pegawai negeri, khususnya untuk guru sebaiknya diberikan opsi, terutama bagi mereka yang berprestasi. Jika seseorang yang sudah bertahun-tahun menjadi tenaga honorer dan memiliki prestasi, apakah mereka harus melalui serangkaian tes khusus lagi untuk mendapat gaji yang memadai dari negara? 

Menurut saya, status pegawai negeri memang bukan satu-satunya opsi untuk memberi penghargaan kepada honorer. Pemerintah telah memperkenalkan PPPK, semacam pegawai kontrak untuk mereka. Tapi nyatanya, masih banyak tenaga honorer yang  tidak lulus meski soal ujian sudah disesuaikan dengan tes lebih mudah.  Memang harus disadari juga bahwa mekanisme penerimaan tenaga honorer ini terbilang tidak memilikinya sistematika yang jelas. 

Pada awalnya, adanya kebutuhan guru yang tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah menimbulkan kekosongan tenaga pendidik di beberapa sekolah. Hal tersebut menyebabkan pemerintah mengangkat guru honorer yang direkrut tanpa tes.

Bahkan terkadang, guru honorer juga ada yang berasa dari sekolah menengah. Jumlahnya pun terus meningkat tanpa kontrol. Bahkan setelah sebagian diangkat jadi PNS, jumlah honorer di bidang pendidikan terus meningkat hingga 700 ribu. Belum lagi, masih ada juga masalah pendataan, yang mana, nama guru honorer tercantum, namun orangnya tidak ada. 

Tentunya hal tersebut menimbulkan dilema saat akan mengangkat mereka jadi PNS. Tidak ada data tentang kualitas dan kompetensi mereka meski sudah bertahun-tahun bekerja, sehingga tes CPNS menjadi patokan umum yang harus dilakukan oleh honorer.  

Tahun lalu, jumlah honorer yang lulus tidak mencapai target, meskipun tingkat kesulitan pertanyaan dalam soal-soal telah diturunkan. Masalahnya adalah, apakah tes CPNS benar-benar bisa menggambarkan kualitas mereka di lapangan?

Salah seorang guru honorer di Mataram NTB pernah berkata kepada saya, bahwa soal CPNS hanya cocok untuk orang yang baru lulus kuliah. Sementara honorer sudah lama meninggalkan kampus. 

Saya tidak bisa memastikan akurasi dari pendapat tersebut. Tapi saya mempertanyakan, apakah tes secara nasional bisa dipakai untuk mengukur kemampuan guru honorer di lapangan? Hanya pakar yang dapat menjawab pertanyaan ini.

Perekrutan honorer memang berisiko mendapatkan pekerja dengan kompetensi yang tidak terukur dengan baik. Namun, sampai saat ini, status honorer masih diminati oleh beberapa orang. Alasannya pun beragam, mulai dari karena belum diterima di kantor lain atau memang honorer menjadi pilihan "sambilan" menunggu pendaftaran CPNS dibuka oleh pemerintahan. 

Dengan kehadiran Nadiem Makarim sebagai  Mendikbud, pendataan akurat ini mestinya dapat diselesaikan. Bukan data soal jumlah honorer dan lokasi mengajar saja, tapi juga informasi tentang kompetensi mereka. 

Dengan demikian pemerintah bisa bersikap adil untuk menentukan mana honorer yang benar-benar layak untuk mendapatkan penghargaan tanpa harus mempersulit mereka.

Terima kasih, sekian dulu dari saya, Rihad Wiranto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun