Mohon tunggu...
Rifo Tabisi Official
Rifo Tabisi Official Mohon Tunggu... Aktor - Penulis Jalanan

"Satu-satunya yang diperlukan untuk kemenangan kejahatan adalah untuk orang-orang baik tak melakukan apapun. Edmund Burke1729-97."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gerakan Kobra Berbasis Ekonomi

6 Mei 2021   18:50 Diperbarui: 6 Mei 2021   19:02 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teori Perilaku kolektif, menekankan bahwa timbulnya perilaku kolektif disebabkan oleh adanya sesuatu yang salah dalam lingkungan sosialnya,  dan kebanyakan berhubungan dengan ketegangan struktural.  Semakin beragamnya ketegangan dalam masyarakat akan semakin memunculkan perilaku kolektif.

3. Teori Tindakan Kolektif

Teori ini menjelaskan bahwa setiap aksi massa merupakan suatu tindakan kolektif.  Menurut Tilly (1978), berbagai tindakan kolektif memiliki tiga bentuk yang berbeda,  yakni tindakan kompetitif,  reaktif,  dan pro-aktif.  

Setiap tindakan kolektif lebih dari satu tipe gerakan.  Dengan demikian, gerakan rakyat menolak investasi tambang dapat dikategorikan sebagai tindakan reaktif dan pro-aktif.  Analisis terhadap aksi kolektif memiliki lima komponen,  yakni kepentingan,  organisasi,  mobilisasi,  peluang, dan tindakan itu sendiri.

Pada umumnya,  tiga teori tersebut diatas, merupakan dasar untuk menganalisis kasus-kasus gerakan sosial.  Namun, tidak menutup kemungkinan ada teori baru yang lebih mutakhir dan relevansi menyangkut dengan konsep gerakan sosial.  Demikianlah sifat teori dalam ilmu pengetahuan yang tidak bersifat statis melainkan dinamis dialektika.

Gerakan Perlawanan KOBRA Berbasis Ekonomi

Gerakan perlawanan yang dilakukan Komando Barisan Rakyat Loloda (KOBRA) terhadap PT. TUB di Kecamatan Loloda,  Kabupaten Halmahera Barat, tahun 2019-2020, adalah salah satu bentuk gerakan sosial yang berbasis ekonomi. Warga loloda merasa resah dan kecewa dengan kondisi sosial ekonomi, sehingga,  kondisi tersebut melahirkan perilaku kolektif warga loloda dan bertindak secara kolektif untuk melakukan gerakan perlawanan dalam bentuk aksi unjuk rasa.

Hasil kesepakatan warga delapan desa menyangkut dengan "harga tanam tumbuh dan harga tanah per hektar", tidak direspon oleh perusahaan dan Pemerintah Daerah.  Walaupun sudah beberapa kali disampaikan, baik melalui cara-cara persuasif maupun dengan cara demonstrasi.  Padahal,  menyangkut dengan hasil kesepakatan warga yang sudah di buat dalam satu dokumen,  disepakati mulai dari tahun 2019 hingga 2020 melalui pertemuan-pertemuan yang di gelar oleh Pemda dan Perusahaan.

Kondisi tersebut,  membuat warga delapan desa lingkar tambang merasa resah,  kecewa,  ketakutan karena hak-hak mereka di eksploitasi oleh perusahaan. Konsep  itulah yang membentuk pikiran warga desa lingkar tambang, sehingga melahirkan tindakan kolektif melakukan perlawanan dalam bentuk aksi unjuk rasa.

Dalam kurun waktu 5 bulan, Oktober 2019 hingga Februari 2020, wilayah loloda tengah sedang dalam kondisi darurat karna menimbulkan  perlawanan-perlawanan dari warga.  Demikianlah bilah kondisi sosial ekonomi yang tidak stabil atau hak-hak rakyat sengaja di abaikan, tentunya, warga disekitar itu akan bangkit melawan tatanan yang dianggap merugikan hak-hak mereka.

Perlawanan warga mulai nampak dibulan Oktober, ditandai dengan mengedarnya surat siluman dengan judul "MELAWAN LUPA". Surat tersebut isinya tentang kekecewaan warga terhadap PT. TUB yang tidak merespon hasil kesepakatan : mendalang dukungan masyarakat agar bersatu dalam memperjuangan hak-hak sebagai warga delapan desa lingkar tambang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun