Dua dekade kemudian, setelah reformasi, Komnas HAM menyelidiki peristiwa ini dan menyatakan bahwa Tragedi Tanjung Priok adalah pelanggaran HAM berat. Beberapa aparat militer diadili, namun vonis yang dijatuhkan ringan dan tidak menyentuh para perwira tinggi yang bertanggung jawab dalam rantai komando.
Hingga kini, korban belum mendapat keadilan penuh. Banyak keluarga korban tidak pernah menerima kompensasi yang layak, dan negara gagal menunaikan tanggung jawab moral maupun hukum. Amnesty International pada 2023 menegaskan kembali bahwa tragedi ini adalah "luka sejarah yang terus dibiarkan menganga."
Luka yang Tak Kunjung Sembuh
Tragedi Tanjung Priok adalah cermin kelam bagaimana negara bisa berbalik menjadi mesin kekerasan terhadap rakyatnya sendiri. Luka itu bukan hanya milik para korban dan keluarga, tetapi juga luka bangsa.
Pertanyaannya kini: apakah kita akan terus membiarkan sejarah ini terkubur, ataukah kita berani membuka luka untuk menyembuhkannya? Mengingat tragedi ini bukan sekadar kewajiban moral, tetapi juga syarat agar bangsa ini benar-benar belajar dari masa lalu.
"Bangsa yang melupakan sejarahnya, sedang menggali liang kuburnya sendiri."
Tragedi Tanjung Priok 1984 mengajarkan bahwa keadilan yang ditunda adalah keadilan yang ditolak. Dan selama luka ini belum diakui dan disembuhkan, September akan selalu menjadi bulan yang kelam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI