Mohon tunggu...
rifky saputra suryaguna
rifky saputra suryaguna Mohon Tunggu... mahasiswa

Nama saya Rifky Saputra. adalah perpaduan langka antara kepala dingin seorang analis dan hati hangat seorang pencerita. Ia hidup di persimpangan antara logika dan kreativitas, tempat pasal-pasal hukum bisa bertemu dengan metafora yang indah, dan teori sosial bisa dibalut dengan sentuhan humor. Baginya, menulis bukan sekadar menuangkan kata, tapi menyusun dunia. Kadang ia memilih format akademik yang rapi, lengkap dengan struktur dan referensi, kadang ia menempuh jalur bebas: esai reflektif, satire, atau propaganda kreatif. Ia tak takut berpindah dari diskusi serius soal keadilan sosial, ke obrolan santai tentang ide video pendek yang memadukan hukum dan komedi. Di balik gayanya yang kritis dan analitis, Rifky punya rasa ingin tahu yang nyaris tak terbatas. Ia melihat isu bukan hanya dari permukaan, tapi dari akar yang menancap dalam. Ia mencari makna di balik data, cerita di balik fakta, dan manusia di balik aturan. Dengan perpaduan keseriusan dan keluwesan, Rifky membuktikan bahwa berpikir tajam tidak harus kaku, dan berimajinasi liar tidak berarti kehilangan arah. Ia berjalan di antara keduanya, seperti seorang penjelajah yang selalu menemukan jalur baru di peta pikirannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tanjung Priok 1984: Luka September Hitam yang Tak Kunjung Sembuh

11 September 2025   02:28 Diperbarui: 11 September 2025   09:19 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi AI tragedi Tanjung Priok 12 September 1984. 

Dua dekade kemudian, setelah reformasi, Komnas HAM menyelidiki peristiwa ini dan menyatakan bahwa Tragedi Tanjung Priok adalah pelanggaran HAM berat. Beberapa aparat militer diadili, namun vonis yang dijatuhkan ringan dan tidak menyentuh para perwira tinggi yang bertanggung jawab dalam rantai komando.

Hingga kini, korban belum mendapat keadilan penuh. Banyak keluarga korban tidak pernah menerima kompensasi yang layak, dan negara gagal menunaikan tanggung jawab moral maupun hukum. Amnesty International pada 2023 menegaskan kembali bahwa tragedi ini adalah "luka sejarah yang terus dibiarkan menganga."

Luka yang Tak Kunjung Sembuh

Tragedi Tanjung Priok adalah cermin kelam bagaimana negara bisa berbalik menjadi mesin kekerasan terhadap rakyatnya sendiri. Luka itu bukan hanya milik para korban dan keluarga, tetapi juga luka bangsa.

Pertanyaannya kini: apakah kita akan terus membiarkan sejarah ini terkubur, ataukah kita berani membuka luka untuk menyembuhkannya? Mengingat tragedi ini bukan sekadar kewajiban moral, tetapi juga syarat agar bangsa ini benar-benar belajar dari masa lalu.

"Bangsa yang melupakan sejarahnya, sedang menggali liang kuburnya sendiri."


Tragedi Tanjung Priok 1984 mengajarkan bahwa keadilan yang ditunda adalah keadilan yang ditolak. Dan selama luka ini belum diakui dan disembuhkan, September akan selalu menjadi bulan yang kelam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun