Di tengah kemajuan zaman, kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan serius yang tak kunjung usai. Bentuk kekerasannya pun beragam, mulai dari fisik, verbal, mental, hingga seksual, dan itu bisa terjadi di rumah, tempat kerja, maupun ruang publik. Mirisnya, tidak sedikit perempuan yang memilih diam karena takut disalahkan, tidak dipercaya, atau merasa tidak akan didengarkan. Dalam banyak kasus, pelaku justru adalah orang terdekat yang dilindungi oleh lingkungan sekitar. Ini bukan hanya persoalan sosial atau budaya, tapi persoalan kemanusiaan yang mendesak untuk ditanggapi secara serius.
Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya menyisakan luka secara fisik, tetapi juga bisa menghilangkan rasa aman, melemahkan kepercayaan diri, dan membatasi ruang gerak perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak di antara mereka yang akhirnya memilih diam, merasa tidak punya kekuatan untuk melawan, terutama jika berada dalam hubungan yang tidak seimbang.
Sebagai perempuan, saya merasa penting untuk terus menyuarakan persoalan ini. Banyak orang masih memandang bahwa Islam atau Al-Qur’an bersifat kaku dan patriarkis dalam melihat perempuan. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, Al-Qur’an justru membawa pesan kuat tentang keadilan, kasih sayang, dan perlindungan terhadap perempuan. Sayangnya, tidak semua orang memahami pesan itu secara utuh, dan sebagian lainnya hanya mengambil sebagian ayat tanpa memperhatikan konteks serta penafsiran yang lebih adil.
Salah satu ayat yang sering disalahpahami adalah QS. An-Nisa' 4: Ayat 34 yang memiliki arti, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...” Ayat ini sering dianggap sebagai pembenaran bagi laki-laki untuk mengontrol atau bahkan menghukum perempuan. Padahal, menurut tafsir kontemporer seperti yang dijelaskan oleh M. Quraish Shihab, kata qawwam bukan berarti berkuasa, tetapi menunjuk pada tanggung jawab laki-laki untuk menjaga, membimbing, dan melindungi perempuan. Ketika ayat ini digunakan untuk membenarkan kekerasan, itu bukan hanya bentuk penyalahgunaan ayat suci, tetapi juga berlawanan dengan semangat Al-Qur’an yang mengedepankan kasih dan keadilan.
Tak jarang, ayat ini dijadikan alasan untuk membenarkan kekerasan dalam rumah tangga, misalnya dengan mengatakan bahwa perempuan “harus tunduk” karena seorang laki-laki adalah pemimpin. Padahal, kepemimpinan dalam Islam tidak pernah identik dengan kekuasaan mutlak, apalagi dengan kekerasan.
Salah satu bukti bahwa Islam justru memuliakan dan mendengarkan perempuan dapat dilihat dalam QS. Al-Mujadilah 58: Ayat 1 yang berarti, “Sungguh, Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya dan mengadukannya kepada Allah...” Ayat ini merujuk pada peristiwa ketika seorang perempuan bernama Khawlah mengadukan perlakuan suaminya kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, dan keluhannya langsung dijawab oleh Allah melalui wahyu, menandakan bahwa suara perempuan, penderitaannya, dan hak-haknya sangat dihargai. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, perempuan bukan hanya didengar, tapi dibela secara langsung oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi kita untuk mengabaikan suara mereka, apalagi menormalisasi perlakuan yang menyakitkan.
Selain itu, Al-Qur’an mengajarkan banyak nilai yang menekankan pentingnya kasih sayang, keadilan, dan penghormatan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Islam tidak pernah membenarkan kekerasan dalam bentuk apa pun. Bahkan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam sendiri tidak pernah menyakiti istrinya. Beliau justru dikenal sebagai sosok yang lembut, penuh empati, dan menghargai perempuan dengan sepenuh hati. Ini menjadi bukti nyata bahwa kekerasan dalam rumah tangga maupun di ruang sosial tidak pernah dibenarkan dalam ajaran Islam.
Dari semua ini, saya belajar bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Oleh karena itu, upaya melawan kekerasan seharusnya tidak hanya dilakukan melalui jalur hukum atau gerakan sosial, tetapi juga melalui pembaruan cara pandang terhadap ajaran agama. Sebab, agama hadir untuk membawa rahmat, menjunjung keadilan, dan melindungi yang lemah bukan untuk menjadi pembenaran bagi tindakan yang menyakiti. Sudah saatnya kita memahami ayat-ayat suci dengan hati yang jernih dan semangat keadilan, agar pesan kasih dan perlindungan yang terkandung di dalamnya dapat benar-benar terwujud dalam kehidupan kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI