Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Ja Limbat

2 September 2019   09:50 Diperbarui: 2 September 2019   10:01 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Baca  juga : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8

Ja Limbat sudah hampir seminggu tak kelihatan batang hidungnya. Bukan hanya batang hidungnya yang hilang karena diplester. Kakinya juga tak nongol-nogol. Awas dia! Ketika dulu mau dijadikan tokoh cerita, dia bersedia seratus persen akan rutin muncul di Lopo Sapangkek (pen; lopo sebaya). 

Ini baru beberapa hari dijadikan tokoh cerita, malahan baru delapan bagian, sudah mangkir dia. Banyak sudah yang bertanya-tanya pasal dia. Macam bintang film betul dia. Ngalah-ngalahin penulis cerita.

Sekali saja datang di Lopo Sapangkek, habis Ja Limbat kumarah-marahi. Tapi, harus hati-hati juga. Tak boleh gegabah kalau mau menghajar lelaki itu. Kawan pembelanya banyak. Apalagi Mizan, ada pintar-pintarnya lelaki itu. Ada pengetahuan yang ghaib-ghaib. Bisa kelenger kalau dihembusnya.

Nah, lihat tuh, panjang umur Ja Limbat. Biasa, jual tampang susah. Dia duduk di sudut lopo, lalu meminta maaf karena lama tak muncul karena sakit keras. Ah, rasa sesal timbul di dada. 

Berburuk sangka itu tak boleh. Berdosa. Kali lain penulis ingin meminta maaf kepadanya. Alah, penulis cerita terlalu jauh masuk ke dalam cerita. Mari kita ke inti kue, eh, inti cerita. Teringat inti kue, jadi lapar. Lopek bainti (pen; kue berinti) dari Padang Pariaman, kata Wak Midah. Waduh, tambah melantur saja.


Ja Limbat mengatakan sakit yang dia derita lebih parah dari yang sudah-sudah. Sakit malaria kata dokter. Kalau sakitnya menyerang, bisa menggigil dia. Bisa bergetar seisi rumah. 

Makanya, kalau sakitnya mau datang, Ja Limbat langsung memberi aba-aba seperti mau perang saja. Seluruh isi rumah yang berupa pecah-belah, harus dikeluarkan kalau tak mau menjadi bubur.

Pil kina tak mempan mengobati penyakitnya. Mantri yang datang memeriksa, tobat dan tak datang-datang lagi. Pasalnya, ketika mantri mau menyuntik pantat Ja Limbat, sakitnya datang. Bergetar seluruh ruangan. Suntik pun ikut bergetar. Bukannya berhasil menyuntik Ja Limbat, mantri malahan yang tersuntik.

Ki Mayur, dukun beranak itu, tak sanggup juga mengobati Ja Limbat. Selain bukan spesialisasinya alias dukun beranak tak sejalan dengan malaria, dia juga tak paham penyakit Ja Limbat. 

Dia mau saja mengobati kawan kita ini, karena berpikir ada masalah dengan kandungan Ja Limbat. Ternyata cuma perutnya yang besar, karena isinya hanya kentut dan nasi.

Kata Ja Limbat, "Kalau tak bisa jadi dukun, jangan ngaku-ngaku dukun. Tambah saja kata sayur. Jadi, pas. Ki Sayur Mayur." Pandai betul Ja Limbat. Di belakang Ki Mayur saja dia berani begitu. Coba di depannya, langsung sembuh malaria itu.

"Selamat, Pagi. Ada Ja Limbat?" Aih-aih, siapa pula perempuan ini? Cantik bukan main! Mizan yang duduk di dekat Ja Limbat, langsung menganga mulutnya. 

Jangankan lalat, pantat kuali pun mungkin masuk ke mulutnya. Perempuan dari mana pula mau-maunya mencari Ja Limbat. Aduh, iri juga menjadikan Ja Limbat menjadi tokoh cerita.

Panas pula hati Wak Midah. Panas bagaikan minyak di penggorengan. Kalau dulu dia menjadi perempuan tercantik di Lopo Sapangkek, karena memang tak ada perempuan selain dia di situ, sekarang ada saingan yang amat cantik.

"Aku ada, Baby." Ah, sok pula Ja Limbat. Tak cocok mulutnya mengucapkan kata beby. Belum sekolah mulutnya mengucapkan kata Inggris. "Inilah yang kuceritakan kemarin dulu itu. Si Tiara. Macam mana kalian lihat, kalah kan si Butet! Siapa dulu dong kawannya, Ja Limbat inilah. Ha,ha!" Berlagak pula kawan yang satu ini.

"Kau kasih tahu nomor telepon perempuan itu, Ja Limbat," bisik Mizan. "Jadilah kambing seekor punyaku untukmu seorang."

"Kambing yang ayan itu, ah, tak maulah aku. Lagi pula telepon saja kau tak punya. Kalau mau menelepon, terpaksa meminjam telepon di rumah Wak Midah, mana ketemu kau bicara dengan Tiara. Kau bercakap teriak-teriak macam siamang. Tiara halus suaranya bak buluh perindu," seloroh Ja Limbat.

"Ada pecal, Mak?" tanya Tiara kepada Wak Midah.

"Mak, Mak. Memangnya aku emakmu. Wak bukan Mak. Jangan pula kau balik-balik huruf W menjadi M. Macam emak-emak rupanya kau melihat aku." Wak Midah tersenyum agak dipaksakan. Tiara menggeleng. Pemarah juga Wak Midah ini. "Tapi, adalah pecal untukmu. Jangan takut."

"Jadi, sekarang, apa yang membuat penyakitmu sembuh?" Meskipun malu-malu kucing, beranilah si Buddin bertanya kepada Ja Limbat, sekalian menyambar sepotong pisang goreng.

"Pasti perempuan ini yang bikin dia sembuh. Dia bukannya sakit malaria, cuma malarindu. Kau tengoklah, taklah ada lagi yang lucu-lucu pada Ja Limbat. Biasalah, orang yang sedang jatuh cinta," celetuk Mizan.

Tiara pura-pura menjatuhkan sapu tangannya. Ja Limbat buru-buru mengambil sapu tangan itu. Seperti di film-film saja.

"Ah, mengkhayal saja pun kau," ketus Wak Midah. Ja Limbat tersentak. Sapu tangan berganti kain lap yang hitam karena mungkin setahun tak dicuci, dilemparkan Wak Midah ke wajahnya. 

Tiara terkekeh-kekeh. Lucu juga kalau orang yang melawak sedang jatuh cinta. Tapi, Tiara salah. Mau sedang jatuh cinta, mau sedang menelan pil kina, sama saja wajah Ja Limbat, tetap lucu itulah. 

Makanya Tiara datang ke Tor Siojo (pen; bukit Siojo), memang salah satunya karena kelucuannya itu. Dia diutus Sopan Sopantun untuk mengajak Ja Limbat menjadi bintang film lawak.

"Wah, hebat kau. Jadi bintang film lawak. Ah, makin larislah Lopo Sapangkek ini. Kau gantilah radio kemerosok, Wak Midah, menjadi tivi hitam putih. Biar kita bisa melihat wajah Ja Limbat yang ganteng ini," seloroh Mizan.

"Sebenarya dia diajak mau menjadi bintang film layar lebar. Tapi, tak apa-apalah. Layar sempit dulu sebagai pemula. Maksudku menjad bintang film di tivi." Mulai berani melucu juga Tiara.

Setelah pecal selesai dibuat Wak Midah, pulanglah Tiara dan Ja Limbat sampai menghilang di pengkolan jalan. Kok jadi sedih, ya, kehilangan orang yang paling lucu sekampung-kampung itu. Apa jadinya lopo tanpa Ja Limbat? Ah, kita lihat saja apa jadinya. Mau jadi kue tart yang mantap, atau kue tart yang bantat jalan cerita ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun