Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Karimun

4 Juni 2019   00:00 Diperbarui: 4 Juni 2019   00:16 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Human traficking yang mengantarku ke pulau ini. Dulu, aku adalah remaja putus sekolah, yang tak tahan deraan kemiskinan. Ayahku seorang buruh, pun ibuku. Bedanya ibuku memiliki nilai lebih karena bekerja sebagai  buruh cuci-gosok. Mak Jom yang mengajak ke Karimun. Pulau yang kala itu tak pernah kutahu di mana. Mak Jom hanya menawarkan kerja sebagai tkw di Philipina. Tapi dia membelokkan kami ke Batam. Menjejal kami ke lambung sebuah ferry.

Ketika sampai di pantai yang curam dan ombak kejam, barulah kecemasan mencuat. Tapi tak guna lagi, karena berlari dari cengkeraman mereka, artinya tewas. Begitu banyak begundal yang  mati mata hati. Begitu banyak herder yang siap menyalak dan mengepung kami dengan gigi taring tajam.

Aku ingat tahun itu sekitar 1999. Tahun sial. Sejak terdampar di pulau asing itu, aku harus mulai belajar membunuh mata hati. Kata Mandor Fang, bila sudah cukup ranum, aku dan teman-teman sudah bisa bekerja. Bekerja apa? Sekian tahun lalu baru aku tahu apa pekerjaan itu. Merasakan  tubuh liat lelaki. Mencium aroma dari petualang, pun wangi tubuh pengusaha kakap. Sekarang sudah hampir duapuluh tahun  aku menjalaninya. Aku bosan, ingin berlari, tapi caranya bagaimana?

Ada seorang-dua teman mencoba melarikan diri. Hasilnya mereka tinggal nama, dan  jasadnya entah di mana. Ada juga yang bisa kembali. Kenyataan hanya jasad tercabik-cabik, dan kami terpaksa melihatnya. Kami dibiasakan dengan teror psikologis agar tak berani berbuat banyak. Harus manut, kalau tak ingin kenyataan sama menimpa kami.

Di sini, malam menjelang lebaran, kami sama sekali tak mampu mendengar gaung takbir membuka pintu angkasa lebar-lebar. Kami hanya mendengar hentakan angin laut tentang ganasnya ombak menghantam kamar.

"Ofat, apakah kamu sudah siap risikonya?" Lelaki itu menumpukan kedua lengan kekar di bingkai jendela. Aku sering memanggilnya Bang Bas. Seorang wartawan khusus pria dewasa tentang tempat remang-remang. Dia adalah pelangganku kesekian ratus.

Kami sama sekali tak melakukan apa yang mesti dilakukan. Dia hanya menganggapku narasumber.  Beberapa kali bertransaski, dia sering memunggungiku. Memintaku tak mempertontonkan keseksian. Dia menelisik setiap cerita yang bisa dijual demi mengatrol oplah penerbitan tempatnya bekerja.

"Kenapa? Kau takut?" tanyaku menusuk Bang Bas tertawa. Dia meninggalkanku setelah jam dinding menunjukan pukul sebelas malam.

"Kalau kau nekad, baiklah kita akan melakukannya."

Seminggu berikutnya dia membawa modal lumayan besar. Dengan modal itu dia berhasil membawaku ke Batam. Begitupun kami tak bisa berbuat banyak. Ada dua penjaga yang setia menunggu di lobby.

Tapi, Bang Bas memiliki otak brilian. Hanya empat jam setiba di kamar hotel, dia telah  berhasil mempermakku menjadi seorang perempuan gendut dan tua. Aku sendiri heran, apakah Bang Bas benaran seorang wartawan, atau wartawan merangkap pekerja salon. "Multi fungsi." Dia tertawa senang. Dengan mudah kami keluar dari hotel tanpa diketahui dua begundal itu. Hujan rintik-rintik mempermudah segalanya.

Sebuah lorong menerima tubuh kami. Lorong berliku dan basah. Amis dan bau tanah. Di ujung lorong Bang Bas bertemu seorang lelaki berjambang dan bercaping. Tugas diserahterimakan. Lelaki itu mengantarku ke dalam sebuah mobil. Bang Bas entah. Namun, aku tak perlu berpikir banyak. Yang penting  bisa bebas, pulang ke kampung halaman.

"Siap?" tanya lelaki itu sambil menekan pedal gas kuat-kuat.

"Siap!" jawabku bergetar. Sepuluh menit lamanya, suara letusan membahana. Aku berusaha merunduk. Mobil tetap melaju kencang. Lelaki di belakang kemudi terkulai. Mobil menghantam tembok pembatas jalan. Todongan senjata laras panjang seketika menyentuh keningku. Bersusah-payah aku keluar dari mobil. Penodong  itu mengarahkan aku ke dalam sebuah mobil. Kami menuju ke pelabuhan.

Saat itulah mulutku diikat dan tubuhku dimasukkan ke peti mati. Aku tak bisa berbuat banyak, bahkan sekadar meminta tolong. Yang ada aku kembali ke kamarku. Diterjang dan diberikan bogem mentah, sehingga pandanganku berkunang.

Mandor Fang langsung memerintahkanku bekerja. Ada seonggok daging siap menunggu kehangatanku.  "Cepat layani dia!"

Aku mendekati seonggok daging itu. Menarik  selimut yang menutupi tubuhnya. Lalu aku seketika berteriak. Ternyata dia Bang Bas.

"Sekarang kau puas?" Mandor Fang tertawa sambil melesakkan peluru ke dadaku. Dingin. Membuat tubuhku membeku.

Sekarang aku hanya bisa menjalari layar gawai. Kau tak boleh terkejut. Mungkin setelah membaca cerita ini kita menjadi teman. Tolong tanyakan kepada sang penulis  di mana tempatku dipaksa mengakhiri hidup. Sekarang di sana masih sering terjadi human trafficking. Banyak yang sudah mencoba membongkar sindikat. Tapi, banyak pula yang mau menjual nuraninya kepada para cukong.  

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun