Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lima Tongkol Jagung

18 Januari 2019   10:35 Diperbarui: 18 Januari 2019   11:35 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kar menatap jeruji besi sel yang dingin. Hatinya mengajuk. Andaikan istrinya tak mengidam yang aneh-aneh, dia---seperti biasa--- pasti sedang sibuk menjalin jala yang rusak untuk dibawa besok pagi mencari ikan di hilir Sungai Musi. Tapi sekarang semua bubar. Gegap-gempita hidupnya berubah buyar. Hanya karena lima tongkol jagung, membuatnya masai. Otaknya serasa pecah berserakan. Hatinya melepuh. Bayang-bayang dingin, sodomi, sayur bayam, kuah bening, air comberan dan bentakan kasar bercampur bau kulit sepatu lars, akan menyiasati hari-harinya. Tak ada peluk genit istri. Tak ada celoteh anak sulungnya meminta digendong, kemudian mengompolinya. Tak ada jalan-jalan sore mengudap kacang rebus, usai dia mengantongi hasil dari menjala ikan.

Kar mengenang siang yang panas tadi di bangku panjang pesakitan. Dia bagaikan kambing kurus-kecil yang siap digulingkan setelah pantatnya ditancap besi panjang berulir. Dia akan mengembik tersayat-sayat, manakala api menjilati kulitnya yang berkurap. Sungguh biadab ahli-ahli hukum itu. Sungguh tak berperikemanusiaan pemilik jagung itu. Ataukah Kar yang sebenar orang tak tahu diuntung?

Jaksa menuntutnya lima tahun penjara untuk lima tongkol jagung. Keparat! Apa harga setongkol jagung harus dibarter dengan hukuman satu tahun penjara? Berarti sebiji jagung ukurannya berapa? Seharikah? Ah, dia bingung. Dia belum pernah menghitung berapa banyak biji jagung dalam satu tongkolnya. Yang menjadi keluh-kesahnya hanyalah, mengapa pencurian sepele yang dilakukannya, diganjar sampai lima tahun penjara?

Dia mengenang Ratwandi, pejabat di kantor kecamatan. Lelaki itu telah menggelapkan hampir seratusan juta dana bantuan pemerintah untuk rakyat miskin di bantaran Sungai Musi. Tapi dia santai saja. Tak ada pengadilan menjegalnya. Tak ada orang ramai menangkap pergelangan tangannya. Juga bak-buk pukul-tendangan sampai tubuhnya memar-memar. Hingga bibirnya menggembung serupa dientup tawon. Ataukah karena Ratwandi orang berkerah putih? Atau dia mampu menyogok hukum dengan uangnya yang bergumpal? Sungguh tak adil!

Tapi yang patut disesalkan, sebagai pangkal masalah adalah Icah, istrinya. Tadi Kar sudah mengajukkannya, tapi belum membeberkan kenapa perkara ngidam Icah sampai di bawa-bawa.

Seharusnya ngidam itu tak dimasukkan dalam kamus ritual kebuntingan. Ngidam menjadi amat berbahaya bila terlalu neko. Misalkan ngidam ingin memukul hidung suami hingga jontor. Atau disuruh mencari kebun markisa dengan buah-buahnya yang manis. Apa tak kualat namanya? Ini Palembang, bukan Brastagi!

Dan ngidam istri Kar termasuk keterlaluan. Tapi keterlaluannya baru muncul di benak Kar, setelah dia ditangkap, dihajar massa, dijebloskan ke sel, menghadiri sidang-sidang melelahkan, kemudian puncak yang menyakitkan dituntuk jaksa lima tahun penjara. Kupret!

Dia ingat beberapa minggu lalu, saat dia dan istrinya asyik menikmati bulan purnama di bantaran Sungai Musi, sambil si Sulung, anaknya, mencoba mengucapkan kata-kata sulit dengan lidahnya yang cadel , istrinya itu berkata;

"Kak, bolehkah aku meminta sesuatu?" ajuknya. Kar yang tengah membayangkan mendapat tangkapan ikan yang banyak besok harinya, terkejut. Buyar bara rokok kretek mencium sarungnya. Bolong-bolong benda pemberian Haji Mas'ud itu. Dia mengomel, nyaris hanya gerutuan. Dia tak ingin kualat memarahi istri yang sedang bunting besar. Bisa kecik kundu---pengecut---nanti jabang bayi di perut istrinya.

"Kau meminta apa? Katakanlah!" Dia merengut. Dipikirkannya, dalam beberapa hari ke depan, pundi-pundi uangnya dari hasil menangkap ikan harus penuh. Kalau tidak, dia bakal kelabakan. Icah, selang sebulan, akan melahirkan. Tentu butuh biaya banyak membawanya ke bidan kandungan. Kalau bidan tak sanggup melancarkan persalinan istrinya, bisa-bisa harus dibawa ke rumah sakit. Bertemu dokter yang matanya memicing karena melihat Kar lusuh-letoi tak berpenghasilan memuaskan. Bila ada pula ultimatum dengan bedah, apa itu---Paesar---ah, dia tak tahu istilah medis, maka perahu rumahtangganya bisa karam. Ian, teman sesama pencari ikan, pernah mengalami kejadian menakutkan itu. Istrinya melahirkan dan harus dioperasi. Ujung-ujungnya, Ian harus merelakan sepetak tanah warisan orangtuanya dibeli Haji Hamid dengan harga miring. Lalu Kar, bagaimana? Dia tak memiliki harta apa-apa. Rumahnya saja menumpang di tanah Bapak Saikun.

"Aku mau meminta kau bawakan lima tongkol jagung," ucapnya malu-malu. Tertawalah Kar. Perkara mudah itu. Kar memiliki seorang kawan yang berdagang jagung di Pasar 16 Ilir. Diminta lima tongkol, pasti tak sampai membuat wajahnya berkerut-merut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun